6 tahun yang lalu
Oleh: Twitter

SARAN EFEKTIF UNTUK MANAJEMEN BUMDES WISATA

Bila kita berkunjung ke desa Cihurip Kecamatan Cihurip Kabupaten Garut, jaraknya cukup dekat hanya 56 KM tapi bisa ditempuh dalam waktu 3 jam. Maklum selepas pusat kecamatan Cikajang (25 KM dari Kota Garut) kita melewati perbukitan dengan banyak sekali kelokan. Orang bilang “belum selesai belok kiri sudah harus belok kanan”, sehingga kecepatan kendaraan normal hanya berkisar antara 25-30 Km per jam. Setelah mencapai KM 50 tepatnya di Ciparay, kita harus belok kiri mulai masuk ke kawasan pegunungan dengan tanjakan dan turunan curam, jarak yang ditempuh di jalan masuk Cihurip walaupun hanya 6 KM bisa memakan waktu 30 menit atau bahkan 1 jam jika jalan sedang rusak parah.


Cihurip merupakan desa induk, selain Desa Cihurip, ada juga desa Mekarwangi, Desa Jayamukti dan Desa Cisangkal yang merupakan pemekaran dari desa Cihurip Induk. Tidak berlebihan bila saya sebut landscape Kecamatan Cihurip itu sangat indah, perpaduan kontur perbukitan, sawah terasering, hutan hijau, tebing batu vertikal di sisi timur dan barat dan dihiasi oleh view tak terhalang sampai laut selatan (sekalipun jauh). Secara tofografi Cihurip berupa lembah yang bisa kita intip dari atas jalan raya di puncak gunung ( namanya Puncak Pikiran). Dari saya kecil namanya sudah “puncak pikiran” sekitar 4 KM sebelum kantor kecamatan, dan 3 KM dari SD kami. Di puncak pikiran itu dulu tahun 80-an kami biasa jalan-kaki –sebagai anak desa- dengan teman sekelas untuk sekedar nonton proses rehabilitas jalan batu menggunakan stoom untuk pemadatan jalan.

Saya masuk SD Mulyasari (Sekarang SD Cihurip III) pada tahun 1979 sampai tahun 1985. Dulu sebagai orang desa sering merasa minder karena merupakan SD kampung, sebagian temannya tidak beralas kaki, dan biasanya pada awal sekolah di kelas I, banyak teman SD yang tidak punya baru ganti yang memadai. Baju merah putih beberapa teman saya segera penuh getah pohon pisang, kotor, dan bau. Mengapa bau karena kadang setelah sekolah main ke sungai nangkap ikan kecil (beunteur) dan dimasukin ke saku baju atau saku celana, sampai rumah lupa, walhasil ikan kecil busuk itu kebawa ke sekolah. Ada acara seru ketika awal awal masuk sekolah, beberapa murid yang terindikasi masih “bau” disuruh mandi dulu di pancuran sekolah. Sungguh saya masih ingat nama teman SD itu sekarang sudah berkeluarga mungkin sudah punya cucu.

IMG-20170819-WA0015IMG-20170413-WA0034

Saya sadari bahwa ternyata sekolah kami keren setelah lulus kuliah, bahkan keren banget. Keren karena telah memenuhi aspek dan variabel subtantif dari proses belajar dan proses pendidikan yang lebih sejati. Setidaknya beberapa hal keren yang ingin disampaikan, antara lain adalah sebagai berikut:
Sekolah Alam Semesta
Sekolah kami sekolah alam, tanpa pagar jadi luasnya seluas semesta. Dari kecil kami tidak dididik dengan batas –batas spasial, merdeka, bebas dan dapat mengekplorasi alam semesta secara menyenangkan. Di sela sekolah kita mengenali tanaman hutan, belajar surfive, sehat dan gesit karena halaman kami luas sekali. Tiap hari pemandangan kami adalah keindahan yang berujung di batas horizon pantai Garut Selatan.

Guru-guru kami luar biasa
Guru-guru kami bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding guru-guru di Kota Besar. Di SD kami guru paling banyak 4 kadang 3 orang, itu menjadi umum terjadi di daerah Garut selatan. Bahkan sampai hari ini karena biasanya guru-guru yang ditugaskan segera mengajukan pindah ke Garut kota (dengan segala cara termasuk KKN, lobi dan suap). Guru kami tidak mempunyai metode pengajaran yang canggih, tidak terampil membuat silabus, tidak menggunakan alat bantu berupa proyektor, jarang menggunakan buku paket, tidak artikulatif dalam teori teori pendidikan, tapi mereka berlimpah rasa tanggung jawab, surplus rasa cinta, penuh semangat dan dedikasi. Guru keren sekali, apalagi?

Sekolah Nyaris Tanpa Pekerjaan Rumah
Sekolah kami sangat menyenangkan diantaranya adalah nyaris tanpa PR, tersedia banyak waktu untuk bermain “sorodok gaplok” “babarenan” atau berburu ikan juga puyuh. Kemana-mana jalan kami membuat badan sangat sehat, juga gemar berolahraga walaupun bola kita buat dari buah jeruk bali, bukankah itu tujuan utama pendidikan untuk membuat manusia kreatif, cerdas, dan bisa mandiri mengatasi kesulitan?

Efesien dalam belajar
Tidak ada buku paket, tidak ada LKS, tidak ada buku tulis mahal, hanya buku warna ungu produksi BUMN kertas PT Leces dari Padalarang, tapi apakah sekolah kami dengan demikian bisa disebut tidak bermutu? Sama sekali tidak, karena sekolah –makin disadari- bukan sekedar soal memasukan pengetahuan (yang secara otoriter dipaksakan oleh para cendikiawan pendidikan), sekolah juga adalah soal keterampilan belajar, soal menanamkan nilai, soal memahami efesiensi. Sekolah kami penuh substansi bukan instumen belajar yang artifisial dan digerakan oleh motif-motif proyek sejak di kementerian pendidikannya. Proyek alat peraga, proyek studi kebijakan, proyek workshop, proyek sosisasi, proyek desiminasi, dan juga bahkan proyek cetak mencetak, proyek evaluasi yang secara halus terselip motivasi ekonomi dibanding kata-kata bijak dan akademis.

Berkarakter
Saya bukan ahli pendidikan, tepai semakin memahami substansi pendidikan, saya semakin senang dengan sekolah kami dulu, sebelum banyak profesor menggaungkan pendidikan berkarakter, kami sudah melaluinya dengan hepi. Karakter menghormati guru, orang tua, karakter mandiri, karakter kerja keras, disiplin, kepemimpinan, empati, inisiatif, tanggung jawab melekat secara terintegrasi dengan kehidupan kami. Kita berjalan kaki lebih jauh, diberi kewajiban mengasuh adik, berkomunikasi sosial secara penuh, sejak SD.

Pintar-pintar
Jaman saya SD saya tidak pernah berhasil dapat ranking satu, walaupun ibu saya guru di sekolah itu dan Bapak saya salah satu tokoh lokal yang disegani. Seorang teman sangat cerdas dan mungkin mendekati jenius. Setelah SLTA di Garut, dua murid satu kelas di SD kami menjadi juara umum di masing-masing sekolah negeri di Garut pada waktu itu. Cerdas itu bawaan, sekolah seharusnya mengajari cara belajar bukan penuh dengan administrasi dan tumpukan pengetahuan yang secara menyakitkan akan menjadi “sampah’ dalam kehidupan. Sekolah kami membuktikannya, tanpa banyak instrumen akhirnya bisa berkompetisi dengan SDM dari SD lain. Tidak pernah kalah oleh anak anak yang lahir dan besar di pusat kota Garut, pusat kota Bandung, atau bahkan Jakarta.
Saya kebetulan berkesempatan berinteraksi dengan banyak kawan dari seluruh Indonesia. Mengunjungi juga banyak pulau secara mendalam, dari Sumatera, Kepri, Bangka Belitung, jawa, Bawean, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa sampai Biak dan pulau Papua Besar. Dalam perenungan selama interaksi tersebut, sampai pada kesimpulan bahwa banyak hal telah “tersesat” dari jalan benar, termasuk pendidikan kita. Kita telah lama mengingkari kejujuran secara universal atas nama standar dan evaluasi melalui UN. Kita telah lama terlampau asyik dengan instrumen dan teori-teori pendidikan, dengan diam-diam mulai tercerabut dari substansi pendidikan yang sesungguhnya

1 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.