4 tahun yang lalu
Oleh: Muhammad Luthfi Alfarizki

Perkembangan Politik Zaman Tradisionalist VS Zaman Milenial

Muhammad Luthfi Alfarizki
20178300023
Ilmu Alamiah Dasar

Perkembangan Politik Zaman Tradisionalist VS Zaman Milenial

   Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan kata politik. Karena di Indonesia sekarang sedang gencar-gencarnya membahas politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Atau bisa disebut juga usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Maka dari itu sekarang setiap 5 tahun sekali diadakan pemilu agar warga Indonesia bisa memilih mana yang terbaik untuk warga Indonesia.

   Sekarang saya ingin membahas perbedaan politik zaman tradisionalist(zaman pak harto) dan zaman millenial(setelah pak harto). Suharto (1921-2008)

Pemerintahan Suharto

   Presiden kedua Indonesia, meraih kekuasaan di tengah periode krisis darurat dan pertumpahan darah. Pendahulunya adalah sukarno, telah menciptakan komposisi pemerintahan antagonistik yang sangat berbahaya dan terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis, komunis, dan agama yang saling mencurigakan. Keempat kelompok ini saling mencurigai. Pada tahun 1960an, partai komunis Idonesia(PKI) menculik dan membunuh 7 pimpinan utama militer yang mereka tuduh ingin menjatuhkan presiden sukarno. Suharto seorang perwira tinggi yang mengambil alih kekuasaan militer menyatakan bahwa PKI dalang dari semua kekacauan ini. Selama beberapa bulan kemudian seluruh pengikut aliran komunis dibantai. Memang jelas bahwa suharto memiliki peranan penting saat mengatasi kekacauan pada di Indonesia pada saat itu.

   Pada 11 maret 1966, Indonesia masih dalam keadaan teguncang dan terjebak dalam kekacauan. Akhirnya sukarno menandatangani dekrit yang memberikan kekuasaan kepada suharto untuk mengatasi kekacauan, menjaga kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai dokumen Supersemar(Surat Perintah Sebelas Maret). Suharto dengan cepat memberantas PKI dan membersihkan semua bawahannya dari aliran PKI. Meski masih menjabat sebagai presiden, kekuatan sukarno makin melemah dan akhirnya pada tahun 1967, suharto menjadi pejabat sementara presiden. Dan dilantik menjadi presiden kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya orde baru dan berarti bahwa kebijakan pemerintah sebelumnya telah diubah menjadi kebijakan suharto. Pemerintahan suharto berfokus pada pembangunan, namun otoriter, karena para menteri tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik suharto. Karena golkar mencakup seluruh persatuan petani, buruh, dan penguasaha yang memastikan bahwa politik di Indonesia tidak dapat di Mobilisasikan oleh partai-partai politik. PNS diwajibkan. Memilih Golkar, dan Kepala Desa menerika kuota suara untuk Golkar. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk Golkar pada pemilihan umum 1971. Sembilan partai politik telah bergabung dengan Golkar, yang tersisa hanya PPP dan PDI, namun pergerakannya pun juga dibatasi oleh suharto. Sehingga hanya menjadi masa-masa kampanye singkat saat pemilihan umum.

   Pemerintah semakin otoriter. Memang pertumbuhan ekonomi sangat mengesankan, tetapi pemerintah dianggap terlalu fokus pada investor asing, kesempatan investasi besar hanya diberikan kepada perwira militer atau sekelompok kecil warga keturunan Tionghoa. Muak dengan KKN, pada tahun 1974 ribuan orang melakukan demonstrasi. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan yang besar yang disebut "Kerusuhan Malari" . Takut suatu saat jutaan rakyat Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran kembali, kebijakan-kebijakan yang lebih menekan diterapkan oleh pemerintah. Dua belas surat kabar ditutup dan para jurnalis ditahan tanpa persidangan. Namun sisi ekonomi yang didukung oleh rakyat Indonesia adalah membatasi investasi asing dan memberikan perlakuan khusus bagi para pengusaha pribumi. Bisa dikatakan pada tahun 1980an suharto berada dipuncak kekuasaannya. Karena saat pemilu selalu menang dengan mudah. Namun depolitisasi masyarakat Indonesia ini memiliki satu efek samping yang penting yaitu kebangkitan kesadaran Islam, terutama di kalangan kaum muda Indonesia. Kebangkitan Islam itu menyebabkan perubahan kebijakan baru pada awal 1990an.

   para pemimpin umum Muslim dari organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki lebih banyak ruang untuk mengkritik (kebijakan) Suharto. Suharto (seorang muslim tradisionalis yang tidak terlalu religius) mulai melakukan pendekatan baru pada Islam pada awal 1990an. Ini termasuk jiarah naik haji Suharto ke Mekkah pada tahun 1991, pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang keanggotaannya semuanya muslim. Semua upaya yang dilakukan memang berhasil mengurangi kritikan dari komunitas muslim. Selama era 1990an, pemerintah suharto mulai kehilangan kontrol disebabkan karena masyarakat Indonesia yang semakin asertif. Perkembangan ekonomi yang pesat membuat pendidikan di Indonesia semakin terdidik, namun karena terdidik ini yang membuat orang Indonesia merasa frustasi karena tidak memiliki pengaruh apa pun dalam merubah keadaan politik di negara ini. Para pengusaha pribumi juga frustasi karena kesempatan bisnis yang besar hanya diberikan kepada keluarga dan teman-teman dekat suharto saja. Maka dari itu pada 1993 demonstrasi lebih sering terlihat di jalanan. Isu lain juga beredar bahwa suharto ikut campur tangan dengan PDI.

   Pada tahun 1997-1998 krisis finansial asia melanda. Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan yang baru (tanpa kehadiran Suharto). Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhan-kerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh. Pada 21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto, menjadi presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tuntutan masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.

   Pemerintahan setelah suharto yakni Habibie pun berlangsung dan diharapkan masyarakat bahwa Indonesia mengalami reformasi. Dari pemerintahan yang otoriter, menuju ke pemerintahan yang demokratis. Dan akhirnya sampai saat ini pemerintahan yang demokratis berlangsung di Indonesia, dan semoga peristiwa 1998 tidak kembali terulang untuk kedua kalinya.

@choyei


0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.