4 tahun yang lalu
Oleh: Azzam Hizbulloh

sejarah dan perkembangan bahasa indonesia

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai ''lingua franca'' di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal kalender Masehi penanggalan modern. Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu Rumpun bahasa Indo-Eropabahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa dan Pulau Luzon.Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya. Kata-kata seperti ''samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin'', dan ''kaca'' masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (''classical Malay'' atau ''medieval Malay''). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai ''bahasa Melayu Tinggi''. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya Laporan Portugal Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur,

 cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

           

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur.

Wallace menuliskan di buku tulisannya, ''Malay Archipelago'', bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda."

Di dalam buku ''Itinerario'' ("Perjalanan") karyanya, van Linschotten menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."  

Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Kota AmbonAmbon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis Tionghoa-IndonesiaTionghoa. Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan ''bahasa Melayu Pasar'' oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Kesultanan Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang ''full-fledged'', sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai ''lingua franca'', tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.

Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang sejak dahulu dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca), bukan saja di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Pertanyaan yang mungkin timbul adalah kapan sebenarnya bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai alat komunikasi. Berbagai batu bertulis (prasasti) kuno yang ditmeukan, seperti (1) Prasati Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683, (2) Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684, (3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686, dan (4) Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688, yang bertulis Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya (Halim, 1979: 6-7). Prasasti-prasasti yang jug bertulis di dalam bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli, tahun 832) dan di bogor (Prasasti Bogor, tahun 942). Kedua prasasti di Pulau Jawa ini memperkuat pula dygaan kita bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu bukan saja dipakai di Pulau Sumatra, melainkan juga di Pulau Jawa.

Berikut ini dikutipkan sebagian bunyi batu bertulis(prasasti) kedukan bukit.

Swastie syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwan………….

(selamat ! pada tahun syaka 605 hari kesebalas pada masa terang bulan waisyaakha, tuan kita yang mulia naik di perahu menjemput siddhayaatra. Pad hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari minanga taamwan……

Kalau kita perhatikan dengan seksama, ternyata dalam prasasti itu terdapat kata-kata yang masih kita pakai sekarang walaupun waktu sudah berlalu lebih dari 1.300 tahun.

Berdasarkan petunjuk-petunjuk lainya dapatlah kita kemukakan bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa melayu berfungsi sebagai berikut.

1.      Bahasa melayu berfungsi sebagi bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.

2.      Bahasa melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antarsuku di Indonesia.

3.      Bahasa melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan, terutama di tepi-tepi pantai, baik antarsuku yang ada di Indonesia maupun terhadap pedagang-pedagang yang dating dari luar Indonesia.

4.      Bahasa melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan.

Bahasa Indonesia dengan perlahan-lahan, tetapi pasti, berkembang dan tumbuh terus. Pada waktu akhir-akhir ini perkembanganya itu menjadi demikian pesatnya sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa modern, yang kaya akan kosakata dan mantap dalam struktur.

@choyei


0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.