2 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

Mengapa Belajar Daring Menjemukan, Harusnya Menyenangkan di Era Menteri Pendidikan Pendiri Gojek?


Seorang anak belajar secara daring menggunakan handphone di rumahnya. Walaupun tidak masuk sekolah tetap mengenakan seragam sekolah dasar, duduk agar malas di kursi dan mulai mendengarkan seorang guru di ujung sana memulai  pembelajaran online.

 

Setelah mengucapkan salam dan membuka kelas pembelajaran bu Guru di ujung jaringan online berusaha  memberi semangat,  menghidupkan suasana kelas pembelajaran:

  

“ayo hidupkan kamera handphonenya ya biar bisa terlihat semua sama ibu, sebelum memulai pelajaran kita hari ini, ibu akan panggil satu satu”

“Zaskia”  katanya,

 “hadir bu”  siswa perempuan menjawab

“Umar” panggilnya lagi,

 “hadir bu” terdengar di handphone seorang anak laki laki menjawab

“Zahra ada, zahra ada?” serunya berkali kali, tak terdengar jawaban.  Mungkin yang namanya zahra tidak hadir.

 

Demikian 10 menit berlalu, waktu habis  untuk mengabsen siswa siswinya.

 

50 menit berikutnya sang Guru baik hati menjelaskan tentang pancasila dan  pengamalan sila ke satu dalam kehidupan sehari hari siswa.  Pelajaran pancasila itu secara umum adalah menjelaskan tentang contoh contoh  perilaku anak yang  harus dan  jangan dilakukan.

 

“jadi anak-anak pengalaman sila ke satu itu adalah kita taat ibadah ya, ayo siapa yang malas shalat, malas mengaji, malas taat kepada orang tua? harus rajin ya.. ingat kalau kalian rajin ibadah hati  kalian akan menjadi tenang.  Jangan malas, jangan bangun terlambat sehingga shalat subuh kesiangan, karena rajin ibadah sesuai dengan pengamalan pancasila sila ke satu yaitu ketuhanan yang maha esa”

 

Jelasnya dengan suara khas seorang guru penyabar dan hangat

 

 Guru berusaha untuk mencontohkan pengamalan pancasila sesuai dengan kehidupan anak anak, berusaha memberi contoh mudah sesuai dengan pikiran dan imajinasi anak-anak.  

 

Cara guru menjelaskan, tahapan, metode, dan contoh-contoh persis seperti guru menjelaskan dalam pembelajaran tatap muka.  Bedanya, pelajaran tatap muka biasanya sampil mengunakan alat tulis untuk menerangkan, sedang dalam pelajaran daring paling hanya menggunakan media presentasi.

 

Materi presentasi yang menarik jika dilihat dalam layar besar menjadi kurang menarik ditampilka di layar handphone, apalagi tidak semua guru faham konsep dasar presentase dengan power point.

 

Cukup point point besarnya saja!

 

Sayangnya, anak anak  sejak 10 menit pertama sudah kehilangan semangat sama sekali.  Pelajaran itu adalah pelajaran ke 4 setelah sebelumnya belajar dengan cara yang sama.  Sudah 3 jam hari ini dia menatap layar handphone, mendengarkan, dan duduk saja tanpa aktivitas lagi.

 

Akhirnya sang anak tak kuat belajar duduk di kursi, dibawanya handphone ke kamar, diletakan  di atas kasur, volume dinyalakan dan kamera sudah mulai ditutup.  

 

Terdengar guru masih menyampaikan materi dengan semangat,  dan disimak sambil tiduran, di saat lain didengarkan sambil main games di handphone lain milik kakaknya. 

 

Walau malas malasan, anak tidak berani meninggalkan handphone sampai pelajaran selesai dan khawatir dipanggil namanya oleh guru. Tetap dekat dengan handphone agar bisa segera menyalakan kamera serta menyahut.

 

Sehari bisa 3 kali anak  mendengarkan pembelajaran daring.  Kebosanan yang terus dilakuan setiap hari selama lebih dari satu tahun masa pandemi. Betul betul sebuah pengalaman yang sangat membosankan.   Beban anak anak bertambah karena seringkali guru memberi tugas merangkum mata pelajaran yang lumayan membuat anak bertambah jenuh.

 

Belajar online menjadi semacam mimpi buruk ketika dilakukan ribuan jam, ratusan hari, dengan pola seperti itu. Mata anak yang biasa beredar seluas kelas, harus terpaku pada layar handphone, guru yang biasa menyalurkan energinya lewat tatapan, gestur, sapaan hangat belaian berubah menjadi sekedar suara dari kejauhan.

 

Pembelajaran daring pun ramai ramai menjadi kambing hitam, sebagai sebuah masa suram dari ancaman “lost generation”

 

Teknologi informasi yang dalam wacana menjadi solusi berubah menjadi semacam “musuh bersama”.  Semangat kampanye industri 4.0 tidak terbukti dalam pembelajaran.

 

Kenyataannya pembelajaran daring hanya  dilakukan dengan merubah pembelajaran tatap muka di kelas dipindahkan ke layar laptop atau handphone. Anak anak yang biasa mendengarkan di kelas menjadi mendengarkan di depan layar.

 

 Jika mengajar daring persis seperti mengajar di kelas dengan cara dionlinekan maka dipastikan efektivitasnya rendah, dan dampak psikologisnya berupa rasa jenuh, malas, dan merasa capek sangat tinggi.

 

Lalu adakah peluang agar belajar daring itu asyik menyenangkan dan tidak menjemukan?

 

Tentu saja ada, daring itu bisa sangat asyik, jika kita desain pembelajarannya menyesuaikan dengan karakteristik teknologi online.  Intinya belajar online dan offline jangan dengan cara yang sama. 

 

Agar pembelajaran online menarik kita harus mulai dari pemahaman tuntas mengenai substansi  online. 

 

Sangat disayangkan Menteri Pendidikan  dan para petinggi pengajaran di tingkat bawahnya tidak fokus pada mengkampanyekan perubahan metode pembelajaran pada saat daring. Sehingga menurut saya Menteri Pendidikan Indonesia gagal membawa migrasi mindset ratusan ribu guru  dari mindset offline menjadi online.

 

Sangat susah difahami karena yang bersangkutan adalah mantan CEO perusahaan digital. Dan sangat disayangkan gagal membawa sebuah perubahan untuk guru juga dosen, dalam sebuah transformasi digital yang melompat jauh.

 

Pelaku pendidikan akhirnya terjebak pada isu covid-nya, dan sibuk berdiskusi tentang PSBB, PPKM, mengenai zona hijau, zona merah, zona orange, prokes, larangan tatap muka dan proyek pengandaan bagi bagi kouta internet.

 

Pemerintah  tidak fokus pada pencerahan tentang apa yang terjadi, substansinya apa dan mengambil momentum ini untuk sebuah gerakan besar transformasi digital yang asyik.

 

Menteri pendidikan dan para aktivis di bawahnya sampai akhir pandemi gagal menjelaskan cara membuat belajar digital yang seru, menyenangkan, membuat anak dan orang tua semangat dan bahagia

 

 Akibatnya sangat dahsyat, jutaan jam pembelajaran berlangsung dengan metode lama yang dionlinekan.  Mungkin bahasa kritiknya adalah “jutaan kelas menjemukan, jutaan kelas kurang efektif, jutaan jam pendekatan kurang pas” padahal itu menyerap anggaran, menghabiskan waktu periode emas, dan diikuti dengan sepenuh hati oleh segenap civitas akademika

 

Kita jadi teringat berbagai cerita duka para guru honorer yang berjuang untuk bisa membeli kuota, juga melihat banyak berita anak anak kesulitan akses internet. 

 

Serasa berat sekali kehidupan ini, ditambah dengan belajar daring yang menjemukan

 

Lalu bagaimana?

 

Menteri harusnya menggeser mindset dari mindset Gojek yang transaksional short term menjadi mindset facebook, tiktok, game online, dan IG yang membuat orang happy. Karena Mengelola sekolah dan pembelajaran di era digital ini sebaiknya mendapat inspirasi dari bagaimana perusahaan mengelola facebook.

 

Facebook itu dikelola secara partisipatif, banyak fitur, mengelola hubungan, memanfaatkan kecerdasan buatan, dibanding dengan Gojek yang fokus pada mengantarkan membayar, dan memaksa memotong bayaran 30 persen untuk perusahaan. Saya saat ini merasa Gojek jadi perusahaan makelar digital.

 

Mari kita kembali pada bahasan digital mindset. Mindset itu akan berpengaruh pada bisnis proses, dan tulisan tentang metode pembelajaran yang asyik menyenangkan dan membawa pada trasformasi digital yang keren, akan saya sampaikan pada kesempatan lain.


#cihurip

#desabelajar


0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.