Mengetahui minimnya kepedulian pemerintah pusat terhadap bencana banjir di Kalimantan Selatan selama beberapa hari terakhir ini mengingatkan saya kepada dua jurnalis hebat yang telah mengelilingi 20 provinsi di Indonesia. Mereka menamakan diri mereka sebagai tim Ekspedisi Indonesia Biru. Mereka telah melakukan sebuah perjalanan besar melawan arah jarum jam, dari ibu kota Jakarta ke arah timur menyusuri Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Kalimantan, Sumatra, hingga kembali lagi ke Jakarta.
Adapun hal yang sering mereka liput adalah seputar konflik perebutan Sumber Daya Alam. Yakni konflik antara masyarakat dengan berbagai instansi terkait yang memiliki kekuasaan atas tanahnya.
Berbekal dengan hanya menggunakan dua sepeda motor dan perlengkapan dokumentasi, mereka memulai pemberangkatan ekspedisi ini pada 1 Januari tahun 2015. Kemudian pada bulan yang sama mereka kembali lagi ke titik awal pemberangkatan pada tahun 2017 dengan sambutan yang meriah di markas rumah produksi Watchdoc di Jakarta Utara. Sebuah perjalanan panjang yang diakhiri dengan karya dan kekaguman luar biasa dari masyarakat.
Karya utama dari Ekspedisi Indonesia Biru ini adalah kumpulan video dokumenter yang dapat dinikmati secara leluasa di kanal Youtube Wachdoc dan Watchdoc Image. Pemirsa dapat menyaksikan puluhan video dengan 11 film documenter dalam channel yang sama.
Adapun karya video documenter yang paling fenomenal adalah film Sexy Killer. Film ini berhasil menjadi perbincangan hangat di berbagai titik diskusi dan sempat trending di berbagai media sosial. Tidak hanya itu, nonton bareng film ini sukses digelar di sejumlah daerah baik di dalam maupun di luar negeri (Australia).
Bahkan sejak di upload di Youtube pada tanggal 13 April 2019, film ini telah mendapatkan 35 juta views dengan 900ribu likes saat artikel ini ditulis. Sebuah jumlah yang fantastis dari jurnalis dalam usahanya memberikan gambaran mengenai keadaan alam dan sosial yang amat jarang diliput oleh media nasional.
Sexy Killers menjadi sebuah fenomenal bukan hanya karena dirilis menjelang pemilu 2019 berlangsung, tetapi juga mengungkapkan lingkaran para pemilik saham di perusahaan batu bara yang tidak jauh dari tokoh elit negara termasuk kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden waktu itu. Dampak negatif dari batu bara dan PLTU menjadi sorotan utama dalam film ini. Akibatnya banyak sekali petinggi pemerintahan yang menjadi bulan-bulanan wartawan hingga akhirnya Dandhy Laksono sebagai orang dibalik film tersebut dipenjarakan sebagai tahanan politik.
Selain film ini, masih banyak lagi film dokumenter lainnya yang cukup mengiris hati. Pemandangan bagaimana indahnya budaya dan alam di pedesaan Indonesia mulai berganti menjadi perkebunan dan industry. Deforestasi lahan digalakkan dimana-mana tanpa memperhatikan adab lingkungan yang seharusnya mereka jaga. Sebuah pemandangan tragis sebagai akibat dari upaya ekspansif lahan yang merugikan umat manusia.
Salah satu akibat dari rusaknya alam itu adalah terjadinya banjir di sejumlah daerah. Termasuk di wilayah Kalimantan Selatan dengan total ada 26 kecamatan di tujuh kabupaten dan kota. Tinggi genangan airnya cukup bervariasi, sekitar 1,5 hingga 2 meter. Lalu berdasarkan data Dinas Sosial Pemprov Kalsel, sebanyak 71.339 orang atau 19.502 kepala keluarga terdampak bencana banjir ini. Sebuah jumlah yang luar biasa besar.
Sayangnya jumlah korban ini tidak mendapat perhatian utama dari pemerintah pusat sehingga banyak pihak meminta Presiden untuk dapat memerhatikan bencana ini dengan sindiran ‘’Jangan hanya batubara dan hutannya saja yang diperhatikan, bencananya juga !’’
Dari kabar yang saya baca, BNPB sepakat melaporkan bahwa banjir yang entah kapan surutnya ini diakibatkan oleh tingginya curah hujan setempat. Namun, kita juga sebenarnya sudah mafhum dan mengetahui dengan betul bahwa sebagian besar penyebab banjir ini karena adanya deforestasi lahan yang mengurangi daya serap air hujan. Hutan yang seharusnya dapat menyerap air dari langit, sudah disulap menjadi perkebunan sawit yang menghujani Negara dengan keuntungan materi, namun sejatinya memiskinkan dirinya sendiri karena telah berlaku sewenang-wenang pada tanah ibu pertiwi.
Dari perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru dan bencana banjir Kalimantan Selatan ini, saya jadi mengerti bahwa sejatinya ibu pertiwi memang sudah diperkosa anak-anaknya sendiri.
Secuil Bulan Di Atas Mahakam
Lelaki itu berdiri, memandang keluar,
Mahakam dari kaca jendela kantornya yang tinggi kemarau memanggang
Juni terasa amat panas hujan yang dinanti tak muncul samasekali
Hutan membara, daun kering, coklat, menghitam dan gugur menyedihkan
- Rizani Aswani
Samarinda, 1998
- Penulis : Chairunnisa Ilmi S
Silahkan LOGIN untuk berkomentar.
Laporkan Komentar
Laporkan Komentar