3 tahun yang lalu
Oleh: Muhammad Syahrul Akbar

Jejak Islam dalam Khazanah Budaya Sunda




Kebudayaan Sunda dan Islam telah disimpulkan oleh para antropolog sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Korelasi budaya Sunda dengan Islam ibarat gula dan kemanisannya tidak bisa dipisahkan. Seringkali dikatakan bahwa Islam dan budaya Sunda memiliki paradigma yang sama. Di satu sisi, Islam memandang dan memahami dunia sebagai ekspresi prinsip-prinsip absolut dan terekam dalam wahyu ketuhanan. Di sisi lain, budaya Sunda telah lama meletakkan nilai-nilai absolut yang terwujud dalam jalan rakyat dan tradisi. Tapi, penerimaan sosial terhadap hal ini bukan tanpa masalah. Hubungan Islam dan Sunda tidak perlu diperdebatkan. Kita perlu proporsional dalam mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari dua entitas budaya tersebut.


Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat, manusia Sunda harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan dan simultan. Akulturasi dan asimilasi antara budaya lokal Sunda dengan ajaran Islam telah membentuk  warna   dan  ciri  khas  pada keberagamaan masyarakat Sunda. Betapa Islam sangat berpengaruh pada tradisi dan budaya Sunda. Karena, sejak pengalaman sejarahnya yang paling awal, masyarakat Sunda senantiasa menempatkan nilai-nilai agama (Islam) pada posisi yang sangat sentral dalam hampir seluruh aspek kehidupannya.


Keberadaan Islam di Tatar Sunda kerap diibaratkan seperti gula jeung peueutna (gula dengan manisnya, sesuatu yang tak dapat dipisahkan). Karena, dalam kenyataannya Islam di Tatar Sunda seiring sejalan dengan local genius masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Disinilah titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.


Akulturasi Islam dengan Sunda dapat terlihat dari beberapa jenis ekspresi kesenian yang ada di  tatar Sunda. Selain sebagai hasil dari interaksi, akulturasi ini terjadi karena pada awalnya dan bahkan hingga saat ini, kesenian seringkali digunakan sebagai sarana  penyebaran syiar Islam. Strategi seperti ini terutama dilakukan oleh para wali pada awal-awal penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pengaruh Islam terhadap kesenian Sunda ini diantaranya dapat dilihat dari aspek tulis-menulis, cerita, seni arsitektur, seni musik, seni pertunjukan, sastra, seni suara, dan sebagainya.


Bagi budaya Sunda, bersentuhan dengan budaya asing bukanlah hal yang baru. Jika dilihat jauh ke belakang, karuhun (nenek moyang) Sunda telah membuktikan kreativitasnya dalam menghadapi berbagai macam pengaruh dan tamu yang datang dari luar, baik itu dari India (Hindu, Budha), Jawa (Mataram), dan Arab (Islam). Dan hasilnya menunjukkan, bahwa jiwa Sunda memiliki kemampuan untuk membuat sintetis yang harmonis. Sunda, bahkan selalu berani berhadap-hadapan dengan jiwa, agama, kepercayaan, dan alam pikiran yang bagaimanapun adanya.


Dalam proses perjumpaan tersebut, Sunda tidak pernah (sepenuhnya) hanyut oleh suara tamu. Sebaliknya, ia dapat dengan dinamis dan harmonis membuat apa yang mempengaruhinya itu menjadi khazanah kekayaan budayanya sendiri. Contoh, dalam kosa kata yang awalnya berasal dari luar, kini sudah sedemikian "merenah" bagai bagian integral Sunda. Nama Maman yang khas Sunda itu pun  kabarnya  berasal dari bahasa Arab, Iman. Minah dari kata mu’minah.


Tetapi, tentu saja, resistensi Sunda terhadap budaya, nilai, dan keyakinan yang datang dari luar bukannya tak ada. Dalam konteks ini, resistensi, pertama-tama harus dipahami sebagai sebuah daya tahan sekaligus daya tawar. Maka, ketika hendak menimbang resistensi spiritualitas Sunda, tak ayal lagi harus membincangkan daya tahan dan daya  tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan dari luar Sunda.


Bukti yang menunjukkan tidak kuatnya resistensi Sunda terhadap kebudayaan luar (Sunda) ditunjukkan oleh begitu berjaraknya bahasa Sunda asli dengan bahasa Sunda yang biasa dipakai dan dipraktikkan sehari-hari. Bahasa Sunda banyak sekali yang dimasuki oleh unsur bahasa asing terutama bahasa Arab (yang menjadi representasi Islam).


Terlepas dari semuanya, tampaknya yang terpenting saat ini adalah mengambil sikap mempertahankan kebudayaan dan kearifan Sunda secara objektif: yang baik dijaga, yang sudah tidak relevan ditinggal. Tentu saja, hal ini dimaksudkan agar kebudayaan, kearifan, dan spiritualitas Sunda tak hanya terus-menerus bersemayam dalam pikiran, tulisan, atau ruang-ruang seminar. Tetapi benar-benar membumi di tatar Sunda, di jagad buana.



Safei, A. A. (2010). Kearifan Sunda, kearifan semesta: Menelusuri jejak Islam dalam khazanah budaya Sunda. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 5(16), 35-52

.


#TugasISBD7



1 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.