3 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

SENANDUNG HEROIK ACEH DAN PESAN KEHIDUPAN SUNDA


“Wahé aneuek bek taduek lé

Beudöh saré tabila bansa

Bèk tatakot keu darah ilé

Adak pih maté poma ka rèla”

“Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali

Berdiri bersama pertahankan bangsa

Jangan pernah takut walaupun darah harus mengalir

Sekiranya engkau mati, ibu telah rela”

Itu adalah kutipan sepenggal lagu dododaidi, senandung pengasuhan ibu di Aceh.  Bagi saya lagu itu istimewa, terlebih saya ditakdirkan beberapa kali ke Aceh.   Perjalanan membuat saya bahkan 3 tahun baru berturut turut  berada di Aceh, tahun 2007, 2018, dan 2019. 

Lirik lagu ini sangat heroik untuk membela negara aceh. Seperti dalam terjemahan lirik itu, ada kalimat jangan takut darah mengalir, andaikan engkau mati ibu telah rela.  Dari lagu ini kita dapati tentang spirit perjuangan masyarakat Aceh yang bahkan telah dididik sejak dalam buaian. Diajari oleh seorang  ibu untuk mengorbankan diri untuk  negeri, yang bahkan rela anaknya gugur untuk membela bangsa.

Lagu itu bagi saya sangat patriotik, sangat heroik, dan sangat membumi, saking membuminya, jarang sekali ada senandung sekeren ini. Walaupun lagu ini pada jaman DOM di Aceh, adalah sebuah lagu peperangan terhadap pemerintah Indonesia.  Lagu untuk mengobarkan semangat jihad, semangat perlawanan. 

Lagu yang mengkonsolidasi perlawanan

 Saking terkonsolidasinya Orang Aceh, mereka  bahkan merasa bukan orang Sumatera sekalipun mereka tinggal satu pulau dengan provinsi lain di Sumatera.  Mereka sering bilang orang medan sebagai orang sumatera.

Hal yang serupa, juga terjadi di orang Jawa Barat, yang sekalipun nama provinsinya adalah Jawa Barat tetapi tidak merasa sebagai orang jawa. Jadi kalau orang sunda dari Bandung pergi ke Banyumas, ke Yogya, Solo atau ke Magetan, mereka akan bilang “pergi ke jawa”.   Di sundapun orang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, maupun orang dari DIY yogyakarta disebut “orang jawa”. 

Sebagaimana Aceh, Orang Sunda pun terkonsolidasi kesundaan mereka. Bahkan sudah ada wacana Provinsi Sunda. 

Orang sunda membangun kearifan lokalnya salah satunya dengan lagu lagu, syair syair tentang alam, tentang gunung. Juga sebagaimana di Aceh, orang sunda pun memberi nasehat lewat, lagu. Berbeda dengan orang Aceh yang membuat lagu dengan arti langsung, orang sunda memberi lagu dengan siloka, atau simbolik, atau dengan teks yang perlu direnungkan.

Mohon maaf pada kepada ahli bahasa, kepada pinisepuh sunda. Mohon ijin memaknai lagu sunda yang biasa dinyanyikan untuk anak anak berikut ini:  

Bangbang Kalima Gobang, Bang (lima senjata kehidupan, bisa pancaindera)

Bangkong di tengah sawah, wah  (dibarengi dengan kesadaran ekologis)

Wahai tukang bajigur, gur  (kreatif memproduksi dari bahan bahan lokal)

Guru sakola desa, sa  (betapa pentingnya guru, sekolah dan membangun desa)

Saban poe diajar, jar  (long life education)

Jarung paranti ngaput, put  (berindustri dengan kreatfitas by design)

Puteri nu garelis, lis  (hidup orang harus  estetik,  tampil geulis)

Lisung kadua halu, lu  (penekanan pada harmoni untuk kemakmuran bersama)

Luhur kapal udara, ra (visi teknologi)

Ragrag di jakarta  (terlibat dapat upaya membangun bangsa, di pusat kekuasaan)

 

Terjemahan makna lagu itu saya dapat tadi pagi jam 10an di kantor Desa Kersamenak Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut.  Disampaikan langsung dari Kepala Desa Kersamenak, sahabat saya yang saya panggil pak Kades Indra.    

Hampir semua anak-anak sunda pernah menyanyikan lagu itu.  Sangat familiar karena sangat mudah dinyanyikan. Lirik satu bait  bertautan dengan bait lain. Ahkhir suku kata baris pertama adalah awal suku kata lirik lagu baris kedua. Lirik suku kata  baris kedua adalah awal suku kata lagu baris ketiga, dan seterusnya.

Lagu itu selama ini tidak terkesan syarat makna,  seperti biasa saja, sekedar lagu anak-anak seperti balonku, naik kereta api, bintang kecil, atau kupu kupu yang lucu.

Kades yang menjabat tiga periode berturut turut itu memberi penakanan pada lirik “guru sakola desa”. Sebuah pesan dari para leluhur sunda untuk memperhatikan tiga komponeen penting untuk dihadirkan eksistensinya. Guru, sakola, dan desa. Kemudian ada pesan long life education bada baris selanjutnya “saban poe diajar”.  

Bang-bang kalima gobang yang biasa saya nyanyikan sejak kecil  tiba tiba saya rasakan sebagai sebuah warning kehidupan. Pesan untuk selalu menggunakan pancaindra, memperhatikan keseimbangan ekologis, produktif memperhatikan guru, sekolah dan desa. Juga belajar setiap hari.  Pada titik inilah klipaa seperti mendapatkan substansi, untuk bersama membangun sebuah peradaban yang sudah lama dibangun para leluhur.  Pesan untuk terus belajar  sepanjang hayat.Kebijakansanaa warga  sunda lewat lagu sederhana, yang mungkin tinggal liriknya kita kenali, sementara pesan moralnya sudah lama diabaikan!

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.