3 tahun yang lalu
Oleh: Elvina Rismawati

Positivisme dalam Filsafat


Secara filsafat, jika positivisme bisa dibuktikan dengan fakta-fakta maka tidak ada kekurangannya. Karena memang filsafat di dalam koridornya semua terbukti secara panca inderawi. Contoh covid pada awalnya banyak orang yang tidak percaya. Tetapi dengan bantuan alat maka yg mustahil menjadi benar adanya. Yang dimana Pada dasarnya saling bergantung. Jika fenomena yang terjadi di alam ini dilihat dari kacamata sains, maka harus diikuti fakta-fakta logis dan empiris yang menggunakan metode ilmiah, seperti eksperimen, observasi, dan komparasi. Bahkan, cara pandang sains menilai  pada segala gejala yang di luar nalar. Akal dianggap tidak mencari sebab dan akhir sebuah kehidupan. Begitulah teori filsafat aliran positivisme yang menolak aktifitas yang berkaitan dengan teologis dan metafisik.

Pandangan hidup yang awalnya didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih digantikan ilmu pengetahuan positif. Pada tahap ini, Comte menafikan segala sesuatu yang non-inderawi. Ia mengakui bahwa cara pandang itu sebangun dengan pendahulunya seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, Galileo Galile, Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon.

Pandangan mereka, pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis dan empiris, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah, yakni eksperimen, observasi, dan komparasi.

Comte mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta positif dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, itu fantasi atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya teologi dan metafisika.

Menurut Comte, semua gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan observasi, eksperimen, komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.

Comte pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan harmonis.

Selain itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.

AUGUSTE Comte membagi tiga asumsi dasar ilmu pengetahuan positif. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsung pada kedua pihak, yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan.

Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh sentimen pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama, kepentingan kelompok, filsafat, atau apapun yang mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi.

Pada pihak objek, aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi, misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya.

Asumsi Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang kali, bukan berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena hal tersebut tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi.

Comte menjelaskan hubungan antara penjelasan ilmiah dan prediksi: “Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan suatu keadaan atau mencegah terciptanya keadaan itu.”

Asumsi Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya dengan kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian ilmuwan tidak diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar, khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-kejadian alam.

Selain itu, Comte juga membagi dua fase filsafat positivistik ini, yaitu statika social dan dinamika social. Statika Sosial adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan sosial. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun. Ia menyebutkan, social statics adalah bagian paling elementer dari ilmu sosiologi.

Fungsi dari sosial statics untuk mencari hukum-hukum tentang aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam sistem sosial. Selain itu, fase ini juga mencari hukum–hukum tentang gejala-gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Di dalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat, dan negara.

Sedangkan dinamika social (social dynamics) yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai menanjak dalam kemajuannya. Singkat kata, fase ini adalah teori tentang perkembangan manusia. Dia berpendapat di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus. Namun ia mengakui bahwa perkembangan umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus. Tentu saja, Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia. Soalnya, masalah itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu pengetahuan. Lagi pula, filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan.


Francis Bacon, “Bahwa filsafat yang dangkal memang cenderung ke ateisme namun filsafat yang dalam akan membawa kembali kepada agama. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Seperti dikatakan oleh Einstein, Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori yang menjembatani antara keduanya.”


#tugasFI7

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.