Kemarau kali ini
memang cukup panjang, sampai bulan Oktober, hujan belum turun di Garut. Kita
saksikan saat ini banyak area pertanian kekeringan, juga sumur-sumur warga.
Kondisi ini tentu sangat memperihatinkan warga Garut. Para petani tadah hujan dan para buruh tani
tak lagi pergi ke kebun an ke sawah. Terutama sawah tadah hujan, maupun kebun
hotikultura di daerah kekeringan. Sebagian area pertanian di daerah Cikajang,
demikian juga di sebagian Kecamatan Cibatu, Kecamatan Leuwigoong dan Cibiuk
sudah mulai kering akibat kemarau melanda cukup lama.
Di beberapa daerah bahkan kesulitan air bersih untuk masyarakat memenuhi keperluan primer MCK. Daerah yang mempunyai elevasi relatif agak tinggi seperti dataran Karangpawitan yang terletak di sebelah utara jalan raya makin merasakan dampak kemarau. Mereka yang tinggal di daerah kering tersebut mengalami masalah kekurangan air bahkan untuk kebutuhan mesjid. Sekedar wudhu pun sulit di beberapa mesjid, padahal air wudu adalah mendasar bagi keperluan ibadah.
Masalah air pun sudah terasa di banyak perumahan. PDAM menerapkan strategi giliran untuk mengatasi keterbatasan air. Kondisi demikian dapat dirasakan di perumahan sekitar Rancabango, di Tarogong, Samarang dan Garut kota, demikian juga perumahan di seputar Karangpawitan seperti Oma Indah giliran air menjadi pemandangan. Pada kawasan perumahan yang tahun sebelumnya full mengalir seperti di Perumahan Jatiputera Cibunar Tarogong kidul pun sekarang sudah kebagian giliran. Kemarau membuat debit air PDAM berkurang sehingga memaksa pengaturan aliran agar semua pelanggan terbagi dengan baik.
Kita menjadi semakin rentan dengan kemarau karena daerah resapan air semakin lama semakin sedikit. Lihat saja gunung Cikurai, sebagian besarnya sudah Gundul. Gunung Papandayan dan Gunung lain yang berada di seputar Garut sudah sangat mengkhawatirkan. Secara kasat mata sudah terlihat semakin gundul dan bahkan rusak.
Pola pertanian tidak ramah lingkungan semakin ekspansif. Pertanian betul-betul tidak mempertimbangkan keseimbangan daur air yang butuh daerah resapan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pengguaan air yang semakin tinggi akibat pertumbuhan penduduk perkotaan yang terus meningkat signifikan.
Sawah-sawah sudah berubah menjadi rumah, dimana-mana perumahan baru muncul dan menggunakan lahan produktif, bahkan sebagian dibangun di lahan sawah beririgasi teknis. Di Arah Kecamatan Samaran yang dulu masih bisa dinikmati pemandangan sawah sekarang sudah tergantikan oleh perumahan. Demikian juga ke arah Banyuresmi perlahan tapi pasti sawah-sawah strategis beralih fungsi menjadi permukiman.
Di sisi lain lahan-lahan dengan kemiringan tinggi pun masih dikupas untuk kepentingan pertanian, karena memang lahan pertanian juga makin terbatas.
Kemarau memberi indikasi penting bahwa keseimbangan alam sudah tergganggu, bahwa alam sudah mulai kehilangan kapasitas terbaiknya untuk memberikan air dalam jumlah yang cukup. Demikian pun dengan sungai-sungai yang menjadi urat nadi alam, telah makin mengering disana sini. Air yang dulu sangat berlimpah perlahan menjadi barang langka karena tidak tersedia secara tidak terbatas lagi.
Warga Garut sebagian menderita akibat air yang terbatas dan itu perlu menjadi perhatian semua pihak, karena derita tidak bisa sekedar dilihat sebagai angka-angka lahan kering, tapi perlu dilihat sebagai masalah alam, masalah kemanusiaan, dan masalah pengelolaan tata ruang, tatalaksana sumber daya air, dan tatalaksana kehidupan kita. Kebijakan yang mensejahterakan semua, bukan sekedar kebijakan yang mensejahterakan investor, dan abai pada masalah-masalah kekinian.
Jadi semoga kemarau ini memberi hikmah agar kita lebih peka dan peduli lagi pada pembangunan ramah lingkungan, lebih peduli pada alam, karena itu artinya peduli pada kehidupan dan kepada saudara-saudara kita yang lain.
Anda yakin ingin menghapus komentar ini ?
Silahkan login untuk berkomentar.