2 bulan yang lalu
Oleh: Ani Marlina

Metoda Andragogi Pendidikan Lingkungan Hidup





METODE ANDRAGOGI

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

 

A.           Urgensi Pendidikan Lingkungan Hidup

Dinamisasi perubahan di Bumi tidak lepas dari model dan strategi pendidikan manusia yang memberi warna pada setiap episode kehidupan makhluk hidup. Berbagai model pendidikan yang ditanamkan memiliki visi  ke depan sebagai pondasi kehidupan manusia agar dapat berada diposisi merdeka dalam berpikir, bebas dalam berekspresi, nyaman dalam berkarya, menikmati dalam berproses, mencintai sepenuh jiwa, mengasihi setulus hati, dan seluruh cita-cita komprehensif diperjuangkan juga ditargetkan berada diposisi gemah ripah lohjinawi.

Pendidikan memberi jalan pada manusia untuk berpikir bagaimana memperlakukan diri sendiri dengan bijak dan benar. Misal hal mendasar diantaranya pendidikan dalam menerapkan ‘Body Intelligence’ (Kecerdasan dalam merawat dan menjaga kesehatan), yakni soal disiplin waktu makan, disiplin dalam pemilihan menu makanan, disiplin waktu mandi, berolahraga, beristirahat, disiplin dengan kata-kata, disiplin waktu belajar, bersantai dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan bijak dan tepat dalam tematik kehidupan jika tidak melalui pendidikan, dan akan menjadi pembiasaan ketika konsistensi pendidikan terus berulang dilakukan sampai pada tingkat aplikatif penuh komitmen.

Pendidikan secara mendasar terhadap diri sendiri tuntas, maka keluhanpun akan sirna. Manusiawi ketika manusia berhadapan dengan tantangan, masalah, ujian kemudian merasa jenuh, lelah, kecewa seperti tak bermakna atau bahkan tidak berdaya untuk membangkitkan semangat kembali ketika tidak didapatkan apa yang dicita-citakan. Tidak dibenarkan hal tersebut jika berlarut, dibutuhkan keterlibatan pendidikan yang continue. Pendidikan yang menyentuh pangkal sampai dasar hati serta jiwa menjadi kebutuhan mendasar untuk mewujudkan diri dalam mendapatkan ‘Adversity Question’ (kecerdasan ketahanmalangan). Tahan akan seluruh kondisi yang datang diluar rencana, tahan akan emosi yang akan merugikan sesama, tahan akan kata-kata yang akan menyakitkan perasaan orang lain, tahan akan perilaku yang meresahkan lingkungan, terutama tahan akan sikap yang akan menjerumuskan diri sendiri pada kondisi stagnan.

Dari generasi tradisionalist, baby boomer, generasi X, Y dan Z, bahkan nanti akan kembali pada generasi A dan terus berkembang lagi seiring kemajuan dari peradaban dunia, pendidikan selalu menjadi yang utama. Tidak bisa seseorang dikatakan ‘bisa’ jika tidak melalui berbagai kondisi pendidikan. Pendidikan diharuskan bagi seluruh manusia, karena tanggung jawab kondisi Bumi ada ditangan para generasi yang telah menguasai pendidikan. Pendidikan yang harus dikuasai bukan terbatas pada lingkup akademis saja, karena akademis hanya sebagai penunjang dari pendidikan karakter yang sudah ditanamkan dalam keluarga. Jika tanggung jawab bumi ini selesai di tangan para generasi yang menempuh pendidikan akademis, maka tidak benar adanya ketika bumi sekarang kondisinya makin tidak dapat diatasi. Pendidikan yang seutuhnya adalah pendidikan dengan kemasan yang dibentuk oleh keluarga yang sedikit banyak akan mampu mengelola rasa, cipta, dan karsa para generasi sehingga menjadi nilai budi luhur seseorang dalam menyikapi segala sesuatu.

Hanya dalam keluarga, pendidikan  itu akan berbekas sampai ke hati,  kenapa demikian? karena dalam keluarga menggunakan aturan dan kurikulum dengan dasar kasih sayang yang tak terbatas dengan waktu, 24 jam full perhatian dan segala gerak langkah diamati. Apa yang dikenakan, dilakukan, dimakan, dikatakan, tak lepas dari pandangan keluarga.

Tak dapat dibayangkan jika pendidikan dasar yang seharusnya menjadi rambu-rambu dalam kehidupan hanya sebagai simbol yang tidak dapat difungsikan, layaknya bangunan yang tak berdinding, lahan tak bertuan, semua norma tak bermakna, maka hancurlah generasi penerus secara perlahan.

Hari ini berbicara soal pendidikan tidak lagi bagaimana generasi dapat meraih nilai tinggi di dalam raport/transkrip, mengejar rangking/IPK bagus, berprestasi mendapatkan piala/hadiah dan sejenisnya yang ditawarkan untuk para generasi dalam dunia pendidikan. Tapi soal bagaimana pendidikan menjadi nilai kehidupan, nilai yang merubah pola pikir menjadi satu konsep kerjasama yang berdasarkan hati, Tuhannya dilibatkan dalam setiap gerak langkahnya, bahwa lingkungan dimanapun berada menjadi tanggung jawab diri sendiri yang harus mampu peka ketika lingkungan yang nyaman menjadi terkikis oleh perilaku-perilaku tidak sesuai baik disadari maupun yang tidak disadari.

Pendidikan yang mengajarkan bagaimana memfungsikan kepekaan panca indera ketika melihat berbagai macam kondisi alam, terutama lingkungan  tempat eksistensi makhluk hidup yang tidak mempunyai pilihan kedua selain di Bumi. Pendidikan hari ini harus sampai pada bagaimana generasi bisa merasakan gelisah ketika melihat kondisi lingkungan rumahnya yang sudah tak nyaman,  resah saat selokan dekat rumahnya yang tercium bau tak sedap dan terlihat penuh sampah. Geram saat melihat orang membuang sampah sembarangan, tak tenang hati saat isi rumah tak terlihat bersih dan indah, dan lain sebagainya sikap yang menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan.

Generasi yang pandai dalam bidang akademik sudah banyak, kinestetik, matematis, digital dan kecerdasan lainnya sudah sangat banyak, namun rupanya kondisi lingkungan tak menjadi lebih kondusif ketika terlahir berbagai ilmuwan, politisi, pengusaha, dan profesi keren lainnya. Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Dari generasi ke generasi grafik keindahan, keamanan, kenyamanan, kekokohan lingkungan menurun, terlebih tingkat kebahagiaan. Lingkungan hidup adalah satu-satunya tempat tinggal manusia, terlepas kemajuan peradaban dunia secanggih apapun lingkungan harus menjadi prioritas, harus diutamakan, karena daya dukung lingkungan sifatnya terbatas. Generasi milenial Indonesia harus sudah menciptakan strategi pendidikan lingkungan yang up to date dan sudah harus bisa pula menggali kepekaan tentang lingkungan sekitarnya. Wajar jika pemerintah hari ini menekankan urusan lingkungan terkhusus soal sampah dibebankan pada masing-masing individu masyarakat. Karena soal sampah sudah menjadi kondisi darurat dibelahan dunia, hanya soal sampah bungkus permen saja bisa menghadirkan bencana alam besar. Kenapa bungkus permen bisa sedramatis itu?? Coba bayangkan, jika satu orang mengkonsumsi permen setiap hari satu buah saja kemudian sampahnya tidak disadari dibuang kemana, lalu kalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini datanya merujuk pada BPPS tahun 2017 sekitar 274,7 juta jiwa sama-sama mengkonsumsi permen pula, bisa jadi dari bungkus permen yang bersatu menjadi gunungan sampah yang dapat menghambat seluruh siklus alamiah. Satu bungkus permen saja jika menghalangi saluran air dapat menjadi petaka banjir bandang, apalagi tumpukan yang terakumulasi dari seluruh tempat. Wajar jika Indonesia dekade ini Indonesia selalu dikeluhkan soal masalah banjir, sampah, longsor dan bencana alam lainnya.

Siapa yang harus bertanggung jawab kalau sudah terjadi? Pemerintahkah atau masyarakatkah? pertanyaan ini tentu tidak ada yang berani membuktikan siapa yang bersalah. Kenapa?, Karena semua penghuni bumi tidak menyadari akan perilaku yang dianggap sepele tersebut bisa mengakibatkan masalah besar dan bahkan manusia yang tidak bersalahpun urusan sampah akan dilibatkan. Itu baru sampah permen, belum sampah-sampah lainnya yang sudah tak dapat dilakukan pembuktiannya lagi siapa dan milik siapa sampah tersebut, mustahil untuk dilakukan keadilan.

Tuhan menciptakan bumi penuh dengan ketakjuban, tidak hanya cukup dengan kata indah untuk mengepkspresikannya, tetapi keelokan bumi dan isinya penuh makna tersirat yang tak terhingga di dalamnya, penuh perhitungan detail yang diciptakan untuk kepentingan keberlanjutan manusia. Seiring kecanggihan tekhnologi yang mengglobal, rupanya ketakjuban lahan yang hijau sejuk dipandang mata tak lagi mudah ditemukan, hamparan luas dengan baris pepohonan ditumbuhkan dengan penuh penataan yang rapih sirna pelan-pelan dengan hamparan aspal dan bangunan yang menggantikan keaslian alam yang memberi udara sehat, sejuk serta segar.

Para generasi tak terlihat lagi asyik bergembira ria berjalan melewati pematang sawah saat hendak pergi belajar dan bermain, karena tanah yang diinjaknya memberi bau dan sumber penyakit akibat eksploitasi bahan-bahan tambang yang diubah menjadi berbagai macam jenis barang. Selokan-selokan sawah tak lagi jernih untuk bisa dijadikan kolam alami tempat organisme hidup, tanaman-tanaman enggan lagi kuat hidup berada di pinggir-pinggir dan dasar sungai, binatang-binatang tak lagi mampu memberi isyarat akan daerah yang ditinggalinya itu aman atau tidak. Semuanya tak dapat lagi diprediksi dengan tepat, kolaborasi dengan alam nampaknya sudah tak bersahabat lagi. Manusia yang berlebihan dalam mengembangkan sesuatu untuk mempermudah hidupnya dengan tanpa memikirkan dampak dari pemanfaatan alam yang tak terkendali, manusia-manusia seperti ini yang jangan sampai terus bertambah, karena hadirnya hanya akan terus menciptakan masalah lingkungan hidup.

Bahagianya manusia saat ini bukan lagi pada ranah mendapatkan prestasi kompetitif disegala ruang yang penuh sekat dan penuh aturan dan sorak sorai pujian dari sekitarnya hingga terlena sampai mendoktrin diri akan perbedaan dengan sesamanya. Tapi bahagia hakikinya manusia saat ini adalah ketika kesadaran akan dirinya hidup di bumi ini bangkit dan menyadari bahwa perilaku terhadap lingkungannya adalah tanggung jawab yang akan dijadikan contoh untuk generasi berikutnya. Kedamaian hati manusia dengan lingkungannya sendiri tidak akan pernah didapat ketika kesadaran akan timbal balik lingkungan hidup dengan makhluk hidup belum hadir dalam jiwa dan pikirannya, damai akan tempat tinggalnya aman dari bencana alam, nyaman dari udara yang dihirupnya bebas polusi, tenang dengan kesehatannya dijamin dari sumber-sumber gizi yang bebas dari pestisida.

Pendidikan yang tepat jadi sangat penting dengan kondisi lingkungan yang hampir dibelahan dunia dikeluhkan dengan isu yang sama. Pendidikan yang hanya dikemas melalui kurikulum dengan penunjang buku sumber cetak dan elektronik, komputer, lab dan ruang-ruang kelas yang berdinding kokoh rupanya sudah tidak menjadi solusi urusan diri sendiri lagi terlebih urusan bangsa. Ritual akademik nampaknya sekarang hanya sekedar pendidikan turunaan nenek moyang yang sudah harus direformasi karena output pendidikan yang dilakukan mayoritas untuk gengsi saja.

Bagaimana pendidikan bisa mendobrak soal-soal lingkungan jika dalam pemikiran generasi terkonsep bahwa dunia pendidikan tidak membuat bahagia lagi, kehilangan hobi dan cita-cita yang diidamkan, hari-hari penuh kepenatan dengan seabrek tugas-tugas untuk memenuhi targetan kurikulum dan silabus yang harus diselesaikan dengan jangka waktu yang sudah disepakati oleh pakar-pakar pendidikan. Pendidikan yang menguras rasa ceria riang gembira, bahkan menjadi depresi rupanya menjadi penyebab generasi kehilangan jati dirinya, kesadarannya akan kepekaan terhadap lingkungan. Apa yang menjadi masalah dengan pendidikan di Indonesia, harapan pada generasi begitu tinggi bisa berguna untuk bangsa dan negara, tapi proses untuk menjadikan generasi sadar akan dengan tanggung jawab pada lingkungannya tidak bisa dibangkitkan, justru pelan-pelan menghancurkan dan konsep ‘sustainable development’ tidak akan pernah tercapai.

Saatnya pendidikan harus direformasi, disesuaikan dengan kebutuhan generasi. Bagaimana pendidikan hadir sebagai jalan untuk generasi menemukan siapa dirinya, apa tanggung jawabnya, apa yang harus dilakukan ketika kematangan usia sudah menyapa. Disinilah urgensi pendidikan menjadi hal yang harus diutamakan. Karena lingkungan butuh sentuhan-sentuhan dari dasar hati dalam pelestariannya bukan dilestarikan karena ada tendensi.

 

B.            Masalah-Masalah Dalam Pendidikan Lingkungan

Negara diisi dengan berbagai rutinitas aktivitas manusia yang variatif, prosesnya melibatkan komponen organis dan an organis yang saling berkaitan erat dalam siklusnya. Modernitas dunia tidak bisa lepas dari keterlibatan tangan-tangan kreatif, pemikiran-pemikiran brilian, jiwa-jiwa yang exited dengan sepenuh hati mengisi seluruh lapangan pekerjaan yang tersedian di setiap Negara. Namun seiring dengan kemajuan sistem informasi dan tekhnologi, pelan-pelan menyingkirkan lahan-lahan pekerjaan manusia di wilayah industri, pertanian perkebunan, pesawahan dari tenaga manusia tergantikan dengan mesin-mesin yang dapat mempermudah dan mempercepat hasil kebutuhan primer, sekunder, dan tersier manusia.

Kemudahan IT tersebut tentu saja disambut hangat oleh manusia, namun setiap perubahan yang terjadi pasti diiringi dampak baik dan buruk pada kehidupan makhluk hidup. Dampak baiknya tentu saja sudah kita rasakan sejauh ini dari mulai kemudahan dalam dunia industri, pertnian, perkebunan, persawahan dengan menggunakan mesin canggih yang hanya membutuhkan waktu lebih singkat dibanding dengan peralatan tradisional. Peralatan rumah tangga  yang kita gunakan dari mulai alat penanak nasi, pemanggang roti, pembuat kue, pencuci pakaian dan piring, alat pel, dan seluruh perabotan rumah tangga lainnya yang semakin cepat dan memuaskan hasilnya. Mesin pembuatan pakaian, sepatu, dan seluruh asesoris bisa dengan sangat mudah dan murah pembuatannya. Bahkan rasa tidak percaya diripun bisa dihilangkan dengan sekejap melalui kecanggihan alat make over wajah dan tubuh manusia, sampai media yang membuat kondisi jauh terasa dekat sudah menjadi kebutuhan primer generasi milenial sekarang.

Kemudahan IT tersebut tentu saja diiringi pula dampak buruknya, yang sudah kita rasakan semua bahkan di seluruh daerah di bumi hampir mengeluhkan hal yang sama akan dampak buruk dari kemajuan serba cepat IT ini. Diantaranya soal gizi makanan yang berkurang karena menggunakan alat masak serba listrik, mudahnya kendaraan di dapat sekarang semakin membuat masyarakat luas depresi karena soal macet, polusi. Mudahnya emosional dikendalikan oleh media sosial sehingga mengakibatkan perselisihan yang berkepanjangan yang bisa berakhir sadis. Barang-barang plastik pembungkus makanan dengan berbagai bentuk dibuat dan berakhir menjadi sampah yang membutuhkan puluhan tahun untuk dapat diuraikan.

Masalah-masalah lingkungan bertambah dengan perkembangan pesat IT, tidak hanya disebabkan oleh banyaknya sampah rumah tangga, tapi sampah plastik dan elektronik yang semakin membutuhkan tempat luas dalam penampungannya. Hal ini tentu saja akan menjadi masalah individu dan masyarakat banyak walau sebagian masyarakat peka dan peduli terhdap lingkungan. Masalah-masalah lingkungan ini tentu akan terkikis ketika pendidikan soal lingkungan menjadi habbit seseorang. Namun nampaknya pendidikan lingkungan ini juga tak mudah diterapkan di lingkungan akademis. Karena lingkungan masuk dalam bahasan Biologi di sekolah dasar dan menengah, sehingga bahasannya menjadi bagian terkecil yang tidak memberikan rasa tertarik pada generasi. Seolah urusan lingkungan hanya menjadi bagian paling gampang karena terdoktrin pada saraf-saraf otak generasi bahwa soal lingkungan hanya sebatas soal bersih-bersih saja yang tidak memiliki peran penting apa-apa dalam kehidupan. Sehingganya wajar saja jika masalah lingkungan khususnya di Negara Indonesia terakumulasi menjadi persoalan yang sangat sulit terselesaikan. Harusnya pendidikan lingkungan dijadikan mata pelajaran khusus di setiap sekolah agar pembahasannya menjadi cukup komprehensif dan aplikatif.

Beberapa kendala dalam pendidikan lingkungan dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian diantaranya :

a.             Masalah pendidikan lingkungan dalam keluarga

Sangat minimnya pendidikan lingkungan di keluarga, ini masalah utama yang harus segera disikapi. Pendidikan yang harus diterapkan bukan pada sebatas tau bagaimana menjaga dan merawat kebersihan dan lestarinya lingkungan di rumah, tapi harus sampai pada bagaimana  etika lingkungan menjadi satu tanggung jawab yang menanamkan suatu pembiasaan perilaku mencintai lingkungannya sendiri dengan penuh kasih sayang. Ini hal mendasar bagaimana pendidikan diorientasikan bukan pada rasa takut karena disuruh orangtua/keluarga di rumah, hanya sebatas ingin dapat nilai tinggi di sekolah dan kampus, hanya sebatas merasa tidak enak oleh tetangga dan pemangku kebijakan di desa/kota karena tidak ikut andil menjaga lingkungan. Masalah Ini yang harus dikikis karena sifatnya menjaga lingkungan karena orientasi tertentu saja.

Pendidikan lingkungan harus dibuat konsep strategi bagaimana menjadi satu aplikatif pembiasaan yang menjadi kewajiban manusia selama masih hidup di Bumi. Pendidikan yang bukan dibungkus aturan jangka pendek tapi sifatnya berkelanjutan sampai menjadi pembiasaan. Kecilnya ruang bahasan pendidikan lingkungan di tataran akademis, kurangnya aturan yang ditekankan di lingkungan rumah menjadi salah satu masalah pendidikan lingkungan yang kondisinya ibarat pohon tinggi tapi tak berdaun dan berbuah, hadirnya tidak memberi manfaat. Orang tua harus memberi contoh dengan tanpa rasa bosan, karena satu-satunya guru di rumah untuk dijadikan tauladan para generasi adalah orang tua.

Anak adalah cerminan didikan keluarga di rumah, setiap pembicaraan, nasehat, tindakan akan ditiru dan masuk dalam sensoris serta ingatan, yang pada akhirnya akan terakumulasi dan menjadi pembiasaan anak dimanapun mereka berada. Pendidikan lingkungan di dalam keluarga harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas, karena anak-anak adalah generasi penerus yang akan mengajarkan dan bertindak kembali pada lingkungannya sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh orangtua dan keluarganya. Kesibukan orang tua menjadi masalah dasar sehingga pendidikan lingkungan terabaikan, lingkungan akademik menjadi tumpuan orang tua untuk mendidik anak-anaknya secara total, padalah lingkungan akademik hanya sebagian kecil saja, hanya memoles karakter yang sudah dididik dalam keluarga. Salah besar jika para generasi akan mampu mengendalikan lingkungan masa depan, tapi pola pendidikan lingkungan yang diterapkan keliru. Wajar jika saat ini masalah lingkungan tak henti-henti berdatangan dan memakan korban banyak, kehilangan rumah, mata pencaharian, kehilangan semangat hidup, kehilangan kepercayaan pada pemimpin, dan lain sebagainya masalah lingkungan terjadi dan berpengaruh besar pada psikologis manusia.

b.             Masalah pendidikan lingkungan dalam lingkup masyarakat

Tanggung jawab kekuatan kondisi lingkungan alam dalam lingkup masyarakat akan sangat  lebih mudah dilestarikan ketika dorongan tanggung jawab dalam lingkup rumah tangga menjadi satu kebiasaan. Namun  nampaknya masalah lingkungan menjadi sangat pelik di lingkungan masyarakat, tentu saja masalah lingkungan dalam lingkup masyarakat luas sudah dapat ditentukan salah satu sumbernya, yaitu dari  pendidikan lingkungan dalam keluarga yang tidak tuntas, sehingganya pendidikan dalam cakupan luas di masyarakat menjadi satu hal yang sulit dilakukan.

Masyarakat di lingkungan RT, RW, Desa dan kecamatan, sampai pada tinggkat pusat semakin kesulitan untuk memutus rantai permasalahan lingkungan. Berbagai jenis sampah dan limbah dihasilkan, semakin padat warga masyarakat yang tinggal dalam satu daerah, maka akan semakin banyak pula dihasilkan sampah. Lingkungan masyarakat sebagai tempat berinteraksi lebih luas tentu diidamkan lingkungan yang dapat memberi inspirasi, nyaman, indah, segar, sejuk, aman dari polusi, bersahabat dengan berbagai organisme pengurai, hewan peliharaan, tumbuh-tumbuhan. Rupanya grafik timbal balik alam lingkungan tidak memberi pengaruh positif, lingkungan yang diidamkan hanya cita-cita yang tak pernah diperjuangkan serius.

Gerakan organisasi lingkungan di masyarakat harusnya menjadi ujung tombak dan perisai masyarakat yang tidak hanya menggerakan sebatas motto cintai lingkungan, tapi harus menjadi gerakkan  secara massif untuk warga, yang melatih secara berkelanjutan dan menjadi program jangka panjang bagaimana lingkungan dijaga keasriannya melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan lingkungan semakin hari semakin bertambah, semakin banyaknya manusia yang tidak peduli, tak menjadi khawatir dan resah ketika lingkungannya rusak. Yang pada akhirnya akan merasa menyesal ketika lingkungan sudah benar-benar tidak dapat bertahan dari perilaku manusia yang serakah, egois dalam memfungsikan dan mengeksploitasi alam lingkungan.

Untuk mencegah terjadinya berbagai penyesalan itu kembali bagi generasi milenial dan generasi z, tentu masyarakat dalam cakupan lebih luas harus segera bertindak bagaimana penyikapan yang tepat untuk mewujudkan kenyamanan lingkungan bersama. Saling mengandalkan urusan lingkungan akan menjadi masalah yang besar, terlebih bagaimana urusan pendidikan lingkungan bukan lagi ditumpukan pada ranah akademis. Masyarakat hari ini terfokuskan pada urusan industri sebagai lahan mata pencahariannya, para pemuda pemudi yang bergerak dibidang lingkungan kemasyarakatan tumpul, karena rutinitas berbasis bidang tekhnologi menyita kesempatan untuk bisa meluangkan waktu bagaimana membuat konsep penerapan pendidikan di lingkungan masyarakat. Yang pada akhirnya diseluruh pelosok negeri semua generasi x, generasi milenial dan generasi z disibukkan dengan urusan tekhnologi menjadi rutinitas yang dianggap dapat memberi sumber kenyamanan lingkungan secara berkelanjutan.

c.              Masalah pendidikan lingkungan dalam tataran pemerintahan 

Di tataran pemerintahan Negara Indonesia urusan yang mengelola lingkungan hidup adalah Kementrian Lingkungan Hidup dan Dinas-dinas lingkungan hidup yang tersebar di seluruh provinsi, kabupaten dan kota yang menjadi pusat kebijakan bagaimana gerakan lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup tetap menjadi daya dukung yang stabil terhadap kehidupan manusia. Berbagai program lingkungan digalakkan terus oleh pemerintah untuk menciptakan kemantapan yang stabil antara hubungan manusia dengan lingkungannya. Namun seiring dengan perkembangan IT, kehidupan manusia mulai gelisah dengan kondisi lingkungannya sendiri yang mulai tak terkendali. Kondisi tanah perlahan menunjukkan ketidakpeduliannya pada manusia dengan indikator keanekaragaman hayati mulai menurun sebarannya, apa yang mau ditumbuhkan jika kandungan tanah isinya bahan-bahan racun kimia semua, wajar jika tanaman tidak tumbuh. Tanah lapang hijau berisikan sumber-sumber kehidupan makhluk hidup berkurang dan tergantikan menjadi bangunan-bangunan yang katanya memberi nilai ekonomi untuk masyarakat sekitar, memberi kemudahan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tapi dampak dari berlebihannya pembangunan bukan menjadi nilai plus untuk kelestarian makhluk hidup dan lingkungannya, justru menjadi bencana yang pelan-pelan berinvestasi kehancuran bersama.

Pendidikan lingkungan menjadi sangat urgen, dukungan dari kebijakan pemerintah harus sudah sangat jadi prioritas masuk dalam aturan-aturan pemerintah desa sampai pusat dengan segala kebutuhannya. Pemerintah yang menjadi pioneer untuk warganya, tentu kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan pendidikan lingkungan di lingkungan akademis, non akademis, masyarakat, dan tentu di lingkungan kepemerintahan harus dibuat secara continue dan menjadi program jangka panjang. Karena bagaimanapun pendidikan lingkungan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan lingkungan yang kembali stabil di setiap daerah. Darurat pendidikan lingkungan harus disadari. Perkembangan IT bukan berarti harus update dan upgrade skill saja, namun harus mempertimbangkan dampaknya untuk peningkatan daya dukung ‘carring capacity’ lingkungan yang menjadi cita-cita seluruh manusia tanpa melihat lapisan masyarakat manapun.

 

C.            Tujuan Pendidikan Lingkungan

Konferensi Antar Negara yang diselenggarakan pada tahun 1975 merumuskan tujuan tentang pendidikan lingkungan hidup. Enam kelompok penjabaran sebagai hasil perumusan yang disepakati diantaranya yaitu : 1) Kesadaran, yaitu memberi dorongan kepada setiap individu untuk memperoleh kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan dan masalahnya. 2) Pengetahuan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang lingkungan dan masalahnya. 3) Sikap, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh seperangkat nilai dan kemampuan mendapatkan pilihan yang tepat, serta mengembangkan perasaan yang peka terhadap lingkungan dan memberikan motivasi untuk berperan serta secara aktif didalam peningkatan dan perlindungan lingkungan. 4) Keterampilan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah lingkungan. 5) partisipasi, yaitu memberikan motivasi kepada setiap individu untuk berperan serta secara aktif dalam pemecahan masalah lingkungan. 6) Evaluasi, yaitu mendorong setiap individu agar memiliki kemampuan mengevaluasi pengetahuan lingkungan ditinjau dari segi ekologi, social, ekonomi, politik, dan factor-faktor pendidikan#_ftn1" name="_ftnref1" title="">[1].

Untuk menumbuhkan kesadaran, mengekplorasi pengetahuan, mampu bersikap, memiliki keterampilan, mempunyai daya partisipasi serta berani mengevaluasi dirinya sendiri tentu dibutuhkan dorongan eksternal yang berkelanjutan. Karena tujuan pendidikan lingkungan bukan sebatas tujuan sesaat yang tertulis lalu dibaca saja yang memaksa intrapersonal untuk melakukan sendiri setiap targetan pendidikan yang difokuskan. Prosesnya membutuhkan motivasi, pengarahan, penyuluhan, pendidikan dari para ahli dan pemangku kebijakan setempat. Tujuan disini bukan lagi pada tataran legitimasi tapi harus sudah pada tingkatan action/tindakan yang terkonsep jelas dalam sebuah program di berbagai lembaga pemerintahan pengambil kebijakan.

Tujuan pendidikan yang memiliki visi jelas kedepan untuk kemaslahatan diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa, negara serta agamanya harus menjadi sebuah misi yang kokoh utuk diperjuangkan. Tujuan yang akan tercapai ketika ada kerjasama antara warga masyarakat di berbagai lapisan dengan pemerintah di berbagai tingkatan pula.

 

D.           Prinsip Pendidikan Lingkungan

Pendidikan lingkungan dikatakan stabil jika konsisten dalam realisasi, berprinsip dalam pelaksanaannya. Adapun prinsip-prinsip pendidikan lingkunga hidup yaitu : 1) mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas alami dan buatan, bersifat tekhnologi dan sosial (ekonomi politik, kultural, historis, moral, estetika). 2) merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada zaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal. 3) mempunyai pendekatan yang sifatya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang. 4) meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain. 5) memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya. 6) mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan. 7) secara eksplisit mempertimbangkanmemperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan. 8) memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut. 9) menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, keterampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungantempat mereka hidup. 10) membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan. 11) memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berpikir secara kritis dengan keterampilan untuk memecahkan masalah. 12) memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai lingkungan dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first-hand experience)#_ftn2" name="_ftnref2" title="">[2].

 

E.             Sasaran Pendidikan

Seluruh manusia menjadi sasaran pendidikan, bahkan hewanpun menjadi bagian yang terlibat didalamnya, pendidikan menjadi kebutuhan yang diutamakan. Tanpa pendidikan manusia tidak mengenal dengan peradaban, kehormatan, derajat, harga diri, kualitas diri, generasi yang unggul, bak seperti hewan berada dalam hutan rimba tanpa aturan dan bertingkah laku dengan sekehendaknya yang berpeluang besar menjadi manusia yang tak bermoral.

Sasaran pendidikan lingkungan dapat dibagi dalam beberapa kelompok, diantaranya adalah :

1.             Lingkungan keluarga

2.             Lingkungan akademik

3.             Lingkungan masyarakat

4.             Lingkungan industri

5.             Lingkungan di area wisata

6.             Lingkungan kepemerintahan

7.             Lingkungan umum

Sasaran pendidikan pada dasarnya adalah hak seluruh manusia yang hidup di Bumi, bahkan seluruh makhluk hidup pun punya hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan. Sasaran yang diutamakan adalah tentu saja kepada manusia sebagai pemimpin di bumi yang memiliki akal, cipta, dan karsa yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mampu mengelola kelestarian alam di jagad raya ini. Manusia yang membuat upaya bagaimana sasaran pendidikan ini berproses tanpa or

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.