1 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

Ternyata Ini Hal Yang Membuat Kepo Orang Tua dan Siswa Saat Pembagian Rapor


Hari jumat kemarin tanggal 24 Juni 2022 banyak  sekolah di Kabupaten Garut membagikan buku rapor kepada peserta didiknya. Di depan buku tertulis LHBS mungkin kepanjangannya adalah laporan hasil belajar siswa. Hari dimana orang tua diminta datang ke sekolah mengambil buku rapor dan melihat hasil usaha anak anaknya belajar.  Rapor di dalamnya berisi belasan mata pelajaran, nilai nilai per mata pelajaran dan deskripsi hasil belajar secara rinci dan teliti. 

Tugas Guru itu dalam hal ini sangat berat, memberi nilai dan memberi deskripsi pengembangan anak. Apalagi jumlah siswanya banyak, para guru bisa lembur bermalam malam.  Mengukur hasil pendidikan seperti pelajaran seni budaya, bahasa Iggris juga tidak mudah.  Guru harus menjelaskan tentang perkembangan belajar padahal parameter pada masing masing pelajaran sangat banyak. Sebagai contoh nilai 80 untuk pendidikan seni dan budaya tersebut apakah parameternya adalah menguasai alat musik suling, menguasai angklung, degung, atau gitar. Atau parameter siswa  sudah mengenal budaya budaya tradisional Indonesia, sudah tahu reog dari ponorogo, tari piring dari Sumatera Barat, Tari Kecak Bali, Saman dari Aceh dan tari Tortor dari Batak.  Apakah nilai 80 untuk mata pelajaran bahasa Inggris itu artinya siswa sudah bisa berbicara dengan native speaker untuk percakapan sehari hari, atau siswa sudah bisa mempraktekan story telling menggunakan bahasa Inggris.

Parameter parameter atau indikasi dalam kriteria ketunntasan minimum, akan sangat menarik untuk didiskusikan, dirumuskan ulang dan dievaluasi setiap saat, agar sesuai dengan kebutuhan siswa, tantangan jaman, dan bahkan kebutuhan perkembangan spiritual siswa. Nilai 90 dalam kriteria tertentu bisa saja jadi nilainya 25 jika kriteria atau parameternya kita rubah lebih sesuai dengan kebutuhan masa depan anak anak didik.  

Tentu saya sebagai orang tua, memberikan apresiasi sangat tinggi kepada para Guru, semoga segala kebaikan hati, ketulusan, dan kesediaan membersamai anak anak dengan segala probelematikanya menjadi amal shaleh, dan menjadi amal jariah yang akan terus mengalir pahalanya sampai kehidupan akhirat. Pahala yang tidak terputus putusnya.


Nah yang menjadi soal adalah, setelah para guru mengajar, membuat soal, mengetes, memberi nilai dan mendeskripsikan  hasil belajar dengan lembur lembur menjadi rapor,  adakah deskripsi tersebut dibaca, difahami dan direnungkan?. Data rapor tidak semua dibaca  oleh orang tua dengan teliti menjadi informasi tentang anak, menjadi insight memahami anak, kwowledge tentang sejauhmana anaknya tumbuh dan berkembang secara intelektual dan selanjutnya menjadi orang tua yang  wisdom dalam mendidik anaknya di rumah.

Tiktok, status WA, instastory, chat di WAG, atau nonton berita gosip, mengikuti pekembangan terbaru sinetron ikatan cinta, dan berita politik mungkin lebih diminati oleh para orang tua di era teknologi 4.0 dibanding berusaha  membaca  detail rapor.  Jika deskripsi dalam rapor disampaikan sambil joged tiktok, diberi visual seperti youtobe, atau disampaikan dengan narasi banyak emotikon, akan dibaca lebih dalam oleh para orang tua. Mayoritas orang tua dari generasi X di sekolah anak saya (lahir sebelum tahun 1980) menjadi masyarakat yang terkategory digital imigran yang sudah sangat gandung pada digital, dan berkecenderungan makin tidak minat membaca, minatnya scroll scroll saja.

Bahkan literasi tentang perkembangan anak anaknya sendiri

Barangkali sesekali sekolah perlu mengadakan riset kecil, berapa persen orang tua yang membaca deskripsi rapor dengan detail, nilai mana yang menjadi perhatian orang tua, deskripsi mana yang merasa keberatan, dan selanjutnya bisa ditanyakan tentang  simpulan orang tua tentang anaknya, dan lebih jauh metode apa yang akan orang tua terapkan dalam mendidik anaknya di rumah, sebagai hasil membaca rapor.

Tapi mungkin riset tersebut terlampau berekspektasi tinggi. Karena ternyata apa yang membuat orang tua dan anak anak kepo bukan itu. Anak anak tidak kepo dengan detail pekembangan dirinya dalam pandangan guru. Ternyata yang ditunggu oleh orang tua dan anak anak adalah informasi ranking berapa.  Ranking masih menjadi sumber kekepoan bersama, padahal apakah artinya ranking yang sebenarnya hanya mengukur sebagian kecil kompetensi dibandingkan dengan ratusan kompetensi lain yang diperlukan anak dalam kehidupan masa depan.

Ranking tidak dapat mengukur kualitas kesabaran anak, daya juang, kesadaran membuang sampah, level penghormatan kepada guru, level saling peduli dan kemampuan problem solving yang sebenarnya sangat dibutuhkan di masa depan.  Beruntung sekolah dimana anak saya belajar di SMIT Al Wasilah Intelegensia Garut tidak mengumumkan rangking anak didiknya secara terbuka, tidak menuliskannya di rapor. Ranking hanya merupakan alat komunitas antara guru dan orang tua, untuk mengevaluasinya secara personal.

Sambil menunggu anak saya main sama kawannya, saya duduk di teras. Tetiba ada seorang anak membuang sampah botol minuman dalam kemasan ke halaman depan sekolah. Sebelumya ada dua bungkus sampah makanan ringan tergeletak. Saya tunggu barangkali ada kesadaran dari puluhan anak anak lalu lalang  untuk memungutnya lalu membuang sampah ke tong sampah. Setelah sekira 10 menit menunggu, tak ada seorangpun yang memungut sampah dan membuangnya di tempat sampah yang hanya sekira 3 meter saja di dekatnya.  3 Sampah itu  kemudian saya pungut dan  saya buang ke tempatnya.  Saya kemudian berfikir di teras sekolah, andai parameter ketuntasan minimal pendidikan IPA anak saya adalah kesadaran merawat lingkungan, salah satnya membuang sampah, mungkin nilai rapornya adalah angka 40, padahal membuang sampah itu penting banget.

Akan keren kalau parameterr atau kriteria ketuntasan yang dirubah lebih aplikatif, seperti tuntas sadar lingkungan membuang sampah, tuntas menjaga lisan dari perkataan kasar yang mewabah di Garut seperti panggilan binatang pada kawan kawan sendiri, tuntas menghormati guru, tuntas menguasai alat musik, tuntas shalat dengan benar.  Dengan demikian  yang terukur bukan saja hasil didikan sekolah, tapi hasil pendidikan rumah yang dibawa ke sekolah.

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.