2 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

RUANG KOTA DI KABUPATEN GARUT YANG BANYAK KATA TAPI MISKIN CERITA


Pernahkah anda ngobrol dengan seseorang dari pagi, sore sampai malam hari, cerita banyak hal sangat ramai tapi tak ada hal berarti yang bisa menjadi kesimpulan bersama. Banyak ngobrol sih tapi tak bermakna apa apa.    Atau  anda pergi ke sebuah pasar tradisional yang hirup pikuk, banyak suara orang saling menawar, sungguh ramai tapi mempunyai alur cerita yang jelas. Suara si D tertutup suara si B bercampur suara si C disambung suara si D, diselang suara si E bersampur semua.   

Di pasar  tradisional sangat banyak suara orang orang tapi tanpa pesan, sekedar ramai tidak bercerita dengan tema bersama.

Demikianlah pengibaratan pesan ruang kota Garut, kalau kita masuk ke Kabupaten Garut dari  Bandung via lebak Jero. Hal pertama yang kita temui adalah sebuah gerbang Garut. Dari  bentuknya desain gerbang seolah  mencoba mengharmonisasi  simbol candi dan mesjid. Mungkin konsepnya   bercerita tentang Garut yang mempunyai Candi Cangkuang, juga cerita warga Garut yang religius. Ratusan Pesantren ada di Garut. Coba saja berkunjung ke Kecamatan Cibatu, Limbangan, Sukawening, Wanaraja, Sucinaraja, Bayongbong  maka kita akan bertemu dengan banyak sekali pesantren.

Walau sayang sekali dalam kenyataannya candi dan mesjid  adalah dua entitas saling menegasi bukan saling bersinergi.  Saya belum pernah melihat ada bangunan candi bergaya mesjid dan sebaliknya belum pernah melihat mesjid bergaya candi di Kabupaten Garut.

Dari Gerbang Gerbang batas kabupaten,  kita lanjut masuk ke lebih dalam ke arah pusat kota Garut

Memasuki Kecamatan Kadungora, kita tidak diberi pesan apapun yang bercerita tentang sebuah identitas Kecamatan  Kadungora dimana masyarakatnya sangat produktif. Salah satu produk utama kecamatan ini adalah  sentra produk tas yang luar biasa besarnya.  Demikian halnya dengan Kecamatan leles kita tidak menemukan identitas yang kuat selain baligo jalan ke Candi.  Alun alun Leles bahkan sedang “menderita” karena kehilangan indahnya, diganti ekspresi  pasar darurat yang semrawut. 


 Perjalanan kita lanjutkan ke warung peuteuy, Tanjung sampai dengan Gerbang Batas kota Garut tercinta.   Gerbang batas kota  yang dibangun di daerah Pasawahan sangat tanpa identitas.  Dulu ada running text Selamat Datang di Garut disertai Gambar Bupati dan Wakil Bupati Garut. Sayang sekali ukurannya terlampau kecil untuk sebuah ucapan selamat datang. 

Gerbang seharusnya sangat hanyat, tapi gerbang kota Garut Seperti orang yang menyambut tamu tanpa kata kata, desain gerbang, pesan, dan keseluruhannya bisu.

Kota Garut mencoba menyapa pendatang di Alun Alun Tarogong. Sebuah tugu Intan telah lama sekali dibangun. Tugu yang ingin menyambut tamu dengan menampilkan pesan tentang keindahan. Bercerita betapa indahnya kota garut laksana intan berlian.   Alih alih diperkuat pesan keindahan itu saat ini  bertabrakan dengan pesan dagangan merek dodol Kebanggaan kota Garut. 

Saya tidak keberatan dengan dodol Garut, karena kenyataaanya dodol garut memang fenomenal, tapi sayang penempatan di tugu intan sungguh kurang pas.

Dua pesan dalam satu taman tugu intan  yang saling bertabrakan, Pesan dodol dan pesan intan. Pesona kota intan yang ingin ditawarkan pun segera menjadi “berserakan” dengan iklan kecil kecil berbagai rasa dodol yang ditawarkan.

Jadinya tugu intan terlalu ramai. Dalam bahasa sunda rametek, perpaduan intan dan dodol kan jadi kurang bagus, maka kita akan menyebut   intan rasa buah, rasa coklat, rasa wijen?

Kadang kadang kita lucunya keterlaluan.

Bunderan Tarogongpun terlalu ramai, sehingga tidak jelas di  bunderan tarogong kita ingin diajak ngobrol tentang intan, atau mau ditawarin aneka dodol.  Alun alun tarogong pun gagal memberi pesan yang kuat. Sebagai pembanding mari kita bandingkan dengan pesan kuat ketika kita melewati alun alun di Ciamis, alun alun tegal, alun alun kota Bandung yang selalu mengesankan di pandangan pertama.

Sebenarnya agar lebih konsisten para pemanggku kebijakan tinggal memilih apakah tugu intan sebaiknya diganti dengan patung dodol, atau tulian “Garut Kota Dodol”nya diganti dengan “Garut Kota Intan”.  Biar jelas apakah nanti tugu intan diganti nama dengan tugu dodol.   Saya melihat di Indramayu ada tugu mangga yang menyambut tamu dari arah Jatibarang berada persis di tengah kota. contoh lain,  bisa kita lihat  tugu Nanas di Jalan Cagak Subang. 

Mari kita lanjut ke arah kota via simpang lima. Bundaran terbesar dan sementara terbaik di Garut.

Bunderan dengan patung pahlawan dihiasi air mancur.  Sudah cukup bagus walau kalau kata teman saya yang arsitek bunderan ini kurang pas. Harusnya level air di simpang lima diturunkan agar bisa dinikmati para pengendara.  Kita bisa belajar  tugu selamat datang di Bundaran HI dimana  level air mancur sedekat mungkin dengan jalan sehingga dapat dinikmati. Pengendara motor dimanapun melihat ke bawah bukan ke atas.

Menikmati air mancur di simpang lima harus sedikit mendongak ke atas.


Lalu bagaimana dengan pusat kota.  saya sampai gak sampai hati membahasnya. Pengkolan seperti sebuah ruang kota kaki tangan kapitalisme besar pemegang merk merk besar dibandingkan dengan representasi kebudayaan warga garut yang luhur. Tumpukan baligo, kaki lima, dan iklan iklan produk ramai. Kota garut menjadi serasa pasar tradisional. Gak ada bedanya pengkolan dengan pasar desa atau pasar malam di pelosok garut kota.

Berbagai bangunan di sekitar kota pun, mungkin yang masih bercerita adalah Babancong, BJB, Stasiun Kereta dan Kantor Pos. Bangunan bangunan itu masih punya karakter dan simbolisasi yang kuat. Sayangnya di spot lain malah sebaliknya. Lihat saja Bunderan Bratayuda yang agak berantakan ditambah lagi pada mati, bunderan suci dengan simbol kujang yang terlampau kelihatan kurus nampak ringkih, atau bunderan kerkop dengan warna intan yang aneh.  Padahal banyak sekali arsitek hebat di Garut, mereka tidak ditanya, kurang dilibatkan!

Pak Bupati perlu membuat sayembara untuk berbagai tampilan bunderan di Garut.

Kita perlu ada literasi arsitektural, literasi budaya, literasi ruang kota yang cantik.  Mari kita akhiri membangun kota secara sembarangan. Di kota ini ada keluhuran budaya, ada alam yang luar biasa indah yang perlu direpresentasikan, ada harapan dan juga banyak potensi keren warga Garut.

Kalau kesulitan, buat saja sayembara mendesain dan sekaligus membangun berbagai spot ruang kota  Garut yang paling keren. Juri nasional kalau perlu agar menjadi bangunan terbaik di Indonesia.  Buat kompetisi secara transparan, untuk urusan sepenting ini jangan ada titip titipan pemenang tender, jangan ada pesan sponsor, jangan ada mengambil keuntungan terlalu besar.

Demi Garut tercinta, demi warga tersayang, demi warisan anak cucu dan sejarah yang sedang kita ukir bersama

 

Penulis adalah founder klipaa.com.  lahir, SD, SMP,  dan SMA di Garut, saat ini tinggal di Garut

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.