3 tahun yang lalu
Oleh: M Fauzan Irsyad

Agama dan Problem Kemanusiaan (2)

Secara umum, problem kemanusiaan dewasa ini merupakan "salah satu" permasalahan krusial terpenting dibandingkan dengan permasalahan lainnya, dikarenakan satu nyawa manusia pada pasalnya kalau ditelanjangi secara umum di depan halayak publik dan bahkan jikalau melihat secara spesifik—ia mengkrucut menjadikannya amat sangat penting, sebagaimana yang termaktub di beberapa Undang-Undang, semisal pada UUD 1945 Pasal 28 i ayat 1-2.

Sekurang-kurangnya sebagai berikut :

1). “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
2). "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif."

Namun ironisnya dewasa ini, banyak nyawa yang dipaksa lepas dari jasadnya demi kekuasaan, semisal yang tercatat sejak Januari 2019, kemudian menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyampaikan bahwa ada 51 nyawa hilang akibat menyampaikan aspirasi. Bahkan di tahun kemarin pada periode Januari hingga Agustus 2020 tepatnya—terdapat 75 konflik agraria dan lingkungan hidup yang disertai dengan  kriminalisasi terhadap petani serta masyarakat adat. Hingga menyusul pada tanggal 7 desember 2020, terjadi penembakan anggota Laskar FPI di KM 50 di Tol Cikampek Jakarta (kolabolator.net/23/12/2020).

Landasan Lain tentang Perhatian yang Cukup Lebih

Melihat dari sisi problematika yang terjadi diatas–kenegaraan misalnya, pasalnya bahasa soal kemanusiaan ini sekurang-kurangnya sangatlah sangat di perhatikan sesuai dengan apa yang termaktub di beberapa Undang-Undang misalnya, diantaranya :

1). UUD 1945 pasal 28G ayat 1 : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.”

2). Pasal 28b ayat 2 : “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

3). UU No.35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1 : “Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.”

4). UU No.35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1 : “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan.”

Sedikit catatan untuk bagian ini, dikarenakan pada frekuensi yang ada di Undang-Undang tersebut, sederhananya mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam perjalanannya. Perubahan tersebut tertuju kepada UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang demikian. Yang kemudian perubahan UU Perlindungan Anak tersebut disebabkan karena alasannya untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tidak berhenti disana. Sebagai gambarannya, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada hari itu juga oleh Menkumham Amir Syamsudin (jogloabang.com/24/09/2019).

5). UU No.23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Dengan demikian, perspektif di atas apabila ditelanjangi nya secara terbuka, ini merupakan ritme tata kelola bagaimana negara sendiri sangatlah cenderung memperhatikan soal problem kemanusiaan dari awal berdirinya hingga dewasa ini, yang secara tidak langsung memberikan pesan untuk kita agar bisa menjaga atau melindungi setiap keturunan agar dapat beragumentasi atau bahasa agamanya hijrah kepada tataran hidup yang lebih relevan.

Sehingga apabila di kacamatai secara substansial, wejangan ini pasalnya menjadi renungan kita semua untuk memperhatikan problem kemanusiaan dewasa ini, agar kedepannya menjadi perhatian penting bagi pemerintah, pemerintah daerah, pemerintah desa, bahkan untuk diri kita semua.

Personal dan Komunal

Kembali lagi ke perspektif buku "Islam yang Berpihak", Deni Asyari sebagai penulisnya mewejangkan dengan dua bahasa sederhana mengenai soal problem kemanusiaan/kemiskinan dewasa ini dengan wejangan istilah Personal dan Komunal.

Adapun katanya jika ditinjau nya dari personal, kemungkinan besarnya menurut beliau soal problem kemanusiaan/kemeskininan dewasa ini, secara sederhana menunjukan bahwa dengan sendirinya ter-alamatkan kepada individu masing-masing penduduk, yang mana secara bahasa luasnya faktor "salah satunya" ialah dikarenakan ketiadaanya etos kerja, ketiadaan sikap disiplin, kurang hemat, dan sebagainya. Sehingga jikalau ditinjaunya demikian, maka dalam konteks personal ini dapat dilihat seperti demikian.

Adapun hemat penulis, sekiranya untuk penguat soal problem personal ini akan lebih selaras dengan apa yang di wejangkan oleh Dr. Hendar Riyadi,.M.Ag sebagai penulis di bukunya yang berjudul "Fiqih Amal Al-Maun".

Beliau pernah menyampaikan di Kajian Rutin Shubuhan dan jemaahnya termasuk penulis, beliau me-ejawantahkan bahwa bilamana ditinjaunya secara personal, maka problematika terjadinya masyarakat miskin itu sekurang-kurang nya dikarenakan kurangnya kompeten dalam ilmu pengetahuan; yang kemudian sifat ilmu pengetahuan ini bisa juga diartikan sebagai soft skill atau beberapa skil lainnya (baik soft skill, critical skill, dan lain sebagainya). Dengan demikian, kalau orang tidak punya skil di suatu bidang/tidak kompeten di suatu ilmu pengetahuan, kemungkinan besarnya orang tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan. Kemudian kalau seseorang tidak mempunyai pekerjaan, maka kemungkinan besarnya tidak akan mendapatkan pemasukan/pendapatan (ekonomi), sehingga kalau orang tidak punya ekonomi maka secara telanjangnya ia akan jatuh terhadap yang namanya miskin, dan seterusnya akan seperti itu.

Akan tetapi, jika persoalannya adalah komunal, lanjut ke perspektifnya Deni Asyari, maka analisa personal kuranglah tepat. Sebab, dalam menganalisa sebuah problem yang bersifatnya komunal, pola-pola dan pendekatan yang digunakannya tentu sangatlah luas, maka sekurang-kurangnya analisa personal tidak akan bisa menetlarisir ke sebab-musabab. Sebagai mana yang di sebutkan oleh cendikiawan Muslim Jalaludin Rachmat di bukunya yang berjudul "Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar", beliau menilai apabila seorang Muslim menilai seseorang dengan mencapur adukan antara perosalan sebab-musabab dengan persoalan personal, atau dengan persoalan komunal, maka ia telah menunjukan kesalahan dalam berpikirnya dikarenakan yang ia tafsir dan yang ia baca itu tidak senada, dan secara sederhana jika ada yang seperti itu secara tidak langsung ia jatuh terhadap istilah yang di wejangkan Jalaludin Rachmat, yaitu blaming the victim (menyalahkan korban).

Ketimpangan Sistem yang Keliru

Selanjutnya, melihat perspektif di atas, jika jatuhnya problem kemiskinan nya itu bersifat komunal, maka tidak bisa disebutnya dengan aspek problem personal—meski dalam kaitan komunal terdapat pula aspek personal, namun dilain itu, aspek komunal ini nantinya berkaitan pula dengan aspek struktural, sistem, dan kebijakan yang timpang tindih sebagai proses terjadinya kemiskinan umat sendiri. Disini kita bisa saksikan, sudah berapa banyak aset dan potensi alam di negeri ini yang dikuasai bahkan dijual ke pihak lain? Dan sudah berapa banyak nilai jumlah utang Indonesia yang harus dicicil ke negara-negara kreditur? Lalu sudah berapa banyak pula impor kita yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan warga di tanah air sendiri?

Begitupun apa kabar sama kebijakan-kebijakan yang mau tidak mau sifatnya itu terpopulis kepada situasi yang semakin memburuk? Baik itu di subsidi masyarakat, subsidi kesehatan, pendidikan, bahan bakar minyak (BBM), bahkan subsidi kesejahteraan sosial lainnya?


Sebab pada sepatutnya kata Deni Asyari, subsidi kesejahteraan sosial itu seharusnya mendapat porsi besar, tetapi karena kebijakan tersebut tidak populis yang pada akhirnya menyebabkan hal-hal tersebut terabaikan. Dan disinilah, kita dapat lihat bahwa kemiskinan umat atau problematika kemanusiaan itu bukan hanya urusan personal saja, tetapi sudah mengarah kepada problem komunal—bahkan bisa lebih parah lagi (Islam yang Berpihak: 2019)

Dengan demikian—sebagaimana di singgung sebelumnya, sebenarnya Islam sudah jauh-jauh hari memberikan salah satu strategi kepada kita semua di Surat Al-Hadid ayat ke 25 misalnya, yang artinya: "Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan supaya menegakkan keadilah ditengah-tengah manusia. Dan Allah SWT mengetahui siapa yang membela-Nya dan membela rasul-Nya dengan gaib. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Oleh karena itu, kita harus metelanjanginya secara terbuka dengan refleks kata Al-Hadid dalam nama suratnya, yang mana dalam kitab tafsir sendiri dipahami sebagai bentuk kekuatan atau strategi. Jadi disini kita bisa mengetahui—untuk menciptakan keadilan sosial, selain dapat menggunakan cara-cara Al-Kitab (wahyu) dan Al-Mizan (timbangan/argumentasi rasional), kita juga dapat menggunakan kekuatan dan strategi fisik ataupun non fisik (al-hadid). Sebab jika melihat pada fase awal kelahirannya, Islam memiliki peran dan kekuatan dalam melakukan kritikan yang mendasar pada sistem ekonomi, sosial, politik yang di jalankan oleh kaum Quraisy yang di pandang timpang dan tidak manusiawi. (Deni Asyari: 2019)

Bahkan menurut Ziaul Haque di dalam bukunya "Revolusi Islam di Bawah Bendera Laa ilaaha illallah", bahwasannya salah satu peran diturunkannya para nabi adalah untuk berjuang melawan kebatilan, kezaliman, dan sekaligus membangun masyatakat atas dasar persaudaraan, kebajikan, persamaan sosial, keadilan, dan cinta kasih.

....

3 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.