3 tahun yang lalu
Oleh: Chairunnisa Ilmi

Bagaimana Rasanya Jadi Orang Gagal ?


 

Ah bukannya aku tidak bersyukur, toh kita harus terus belajar untuk memaknai syukur di setiap hela nafas hidup.

Hanya saja, selalu ada momen yang menuntun kita untuk kecewa, lalu kekecewaan itu akan mengantar kita ke masa lalu dimana kita berjuang. Kita ingat betul perjuangan kita yang melelahkan, kekurangan tidur, jarang main dan nongkrong, derasnya doa’ yang dilangitkan, atau nominal uang yang kita korbankan.

Namun ketika sudah beberapa kali berjuang, hasilnya hampir nihil. Kita tidak pernah berhasil mencapai yang kita ingin. Bahkan jika ingin berjuang lagi rasanya pun malah makin melelahkan karena merasa usaha yang kemarin saja belum mendatangkan hasil signifikan.

Melelahkan memang. Apalagi melihat disekeliling kita dipenuhi orang yang sudah mencapai mimpinya masing-masing, sementara kita masih harus berjuang lebih keras. Apalagi jika kita tidak menemukan  ‘pengobatan’ yang tepat dan hidup dengan lingkungan yang tidak ramah, kita malah makin terpuruk dan tenggelam dalam  perasaan payah.

Melihat kesuksesan orang-orang yang kita tahu usaha mereka tidak sebesar perjuangan kita. Tapi mereka sudah sampai di tempat yang lebih tinggi daripada kita. Rasanya menyakitkan. Aku sendiri sering merasa bodoh dan payah jika diajak berdiskusi soal paham kiri. Otakku seakan langsung berhenti berfikir ketika kawan kameradku bertanya tentang  eko-politik, sejarah gerakan mahasiswa, atau tentang kasus minoritas etnis Tionghoa. Padahal aku membaca novel  Pramoedya sejak masih SMP. Sedangkan mereka baru tahu di zaman SMA. Tidak adil menurutku saat itu. Hingga akhirnya aku tidak memiliki semangat lagi untuk membaca. Mereka tidak setia. Keluhku.

Tapii, aku yakin kalian sering menemui ilustrasi kegagalan serupa.

Katanya gagal adalah keberhasilan yang tertunda. Diilustrasikan dengan dua tanaman wortel yang umbinya kecil dan besar padahal daun mereka berukuran kebalikan. Ya, wortel yang daunnya lebih kecil terlihat gagal, namun sejatinya mendapatkan lebih daripada mereka yang sukses dengan cara yang instan. Dapat terlilhat dari umbinya yang besar. Kita  yang merasa gagal karena proses suksesnya lebih pelik dapat belajar dari ilustrasi tersebut. Belajar bahwa mereka yang ‘daunnya’ terlihat lebih cepat lebat tidak menjamin memiliki hasil yang serupa dengan kita  yang ‘daunnya’ lebih kecil.

Lalu, katanya kita harus menghabiskan jatah gagal kita. Kalau tidak salah ini diucapkan Einstein. Jadi anggap kita  punya 10 kesempatan dalam hidup. 9 adalah jatah kegagalan, sebelum mencapai kesuksesan di percobaan yang ke-10. Percobaan kali ke-10 ini adalah waktu bagi keberhasilan kita. Maka kita harus menghabiskan ke-9 jatah gagal tersebut agar mendapatkan keberhasilan yang sejati. Begitu katanya. Jadi jangan berpatah hati sebelum benar-benar mencoba sampai beberapa kali.

Lagi. Titik dimana kita merasa payah dan harus menyerah setelah sekian perjuangan, maka sejatinya kita makin didekatkan dengan kemenangan. Yaa mungkin karena jatah gagal kita sudah semakin berkurang.

Mutiara memang berharga ketika ia sudah tenggelam di dasar lautan, dilepaskan dari induknya dengan menyakitkan, dan digosok puluhan kali. Ah kita pasti sudah kenal dengan perumpamaan ini.

Jadi untuk kita  yang sedang berjuang, jangan berlarut-larut merasa payah dan jengah atas kegagalan yang kian tiada habisnya . Mengeluh boleh, tapi besoknya harus bangun lagi. Semangat ! sebab bisa jadi esok tidak akan lebih baik dari sekarang, tapi kalian akan sampai di keberhasilan kalian sendiri. Semangat !

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.