3 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

ANDA TIDAK PERLU PEDULI, KISAH DESA DI NEGERI DONGENG


Dikisahkan di sebuah negara dongeng yang terdiri dari banyak provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.  Kemajuan sudah sangat tinggi, sehingga orang sudah bisa telepati antar tetangga, antar desa, kabupaten dan bahkan antar benua dengan tanpa harus puasa mutih 40 hari 40 puluh malam. Mereka bisa berbicara jarak jauh, bisa saling melihat tanpa harus pergi ke dukun untuk melihat cermin ajaib.  Jimat itu bernama handphone, perangkat sakti, yang tetap sakti walau tanpa dikasih dupa dan jampi jampi.

Penduduk di negara dongeng ini termasuk para pesolek dan suka ngerumpi. Mereka suka bersolek dengan  pakaian bagus bagus, dan memiliki kendaraan bagus bagus juga. Selain itu para penduduk negeri dongeng berlomba memiliki bangunan cantik cantik.  Untuk urusan pesolek ini, maka mereka antri untuk berhutang pada lembaga baik hati yang kerjanya memberi hutang bernama bank, ada juga leasing. Dua pihak yang  menjadi “dewi penolong” untuk berhutang dalam kerangka bersolek.

Berhutang di negara ini adalah ukuran kesuksesan, karena hanya yang dipercaya dan sukses saja yang bisa berhutang, sebagian besarnya gagal menjadi penghutang, akhirnya mereka berhutang ke pihak lain.   Konon di negeri dongeng katanya ada juga hutang ghaib,  hutang virtual, melaui telepati dari langit. Mereka tidak pernah bertemu fisik, hanya bertemu di ruang telepati, tiba tiba muncul di rekening beberapa digit tambahan. Biasanya hutang model ini nagihnya galak banget, juga suka keterlaluan. Katanya!

Warga negeri dongeng juga  sangat suka ngerumpi bahkan lebih suka ngerumpi dibanding menulis buku, termasuk mereka yang suka memberikan ceramah ceramah di sekoalh sekolah tinggi.  Konon katanya diantara tema ngerumpi itu membahas desa.  Mereka makin bangga karena katanya desa di negari dongeng itu makin sejahtera, bangunan bangunannya makin bagus, jalan jalannya makin mulus, balaidesanya makin cantik dan luas.  “kita harus membangun negara dari desa” kata para penggede, serentak para pengikut setia bilang iya betul kanjeng! Mari membangun negara dari pinggiran, agar tercipta kesejahteraan, apalagi di era telepati ini, kita harus mampu merogoh sukma, sampai tahu mendetksi kondisi sukma warga.  Memahami apa gelisah di jiwanya, kepada siapa dia sedang tertusuk rindu.  Jadi di era telepati itu, para penguasa di negeri dongeng juga bisa pakai telepati untuk tahu sekedar isi perutnya warganya.

Mari kita peduli, demikian  para pembesar negeri dongeng berorasi saat pemilihan untuk jadi penguasa daratan dan gunung

Penguasa negeri dongeng rupanya sangat pemurah, dikasihnya uang banyak banyak ke desa, sekalipun mungkin uang banyak itu sebagian dari berhutang juga ke negara tetangga.  Uang itu harus dihabiskan untuk apapun yang diinginkan, sesuai kesepakatan para warga desa.  Boleh membangun apapun jika disepakati,  yang perlu tentu boleh dianggarkan, uang digunakan untuk kegiatan tak perlu tapi  sekedar ingin, juga silahkan.  Membuat bangunan sangat penting boleh,  membiaya bangunan yang sekedar lipstik juga boleh, asal disepakati, atau bisa juga pura-pura disepakati. Semua penggunaan angaran yang penting ada catatannya, sekalipun catatan pura-pura juga. 

Di negeri dongen kepura-puraan yang tercatat di berita acara akan lebih penting dari pada kebenaran yang tidak dicatat.  Sebagaimana pengalaman belajar yang tertulis dalam selembar tanda sudah belajar, lebih dipentingkan dibandingkan belajar itu sendiri.

Di negeri dongeng dikisahkan juga seorang kuwu  di kaki gunung yang mulai gundul dan sering banjir, sedang kedatangan tamu, seorang warga desa yang ibunya sakit, dan dia datang dari rantau. Ia datang ke desa untuk bertanya tentang nasib ibu dan para tetangga yang bernasib serupa, mereka yang miskin dan kebingungan harus kemana berbagi rasa. Ia terus bertanya pada sang kuwu dinegeri dongeng, Pertanyaan yang jawabannya tidak ada dalam kitab negara, dan juga tak pernah disampaikan oleh para penggede saat kuwu ikut pelatihan di hotel mewah berbiaya mahal.  Para kuwu tidak biasa menjawab pertanyaan, karena biasanya dilatih untuk mendengarkan saja, kali ini dia benar-benar ditanya secara berbeda.

Pertanyaan anak muda itu sederhana sebenarnya,

pertama : jika ada orang lapar di desa selama beberapa hari akibat wabah penyakit, berapa banyak desa punya lumbung pangan yang sejak awal diperuntukan untuk warga tak mampu, ada berapa kamar kah, berapa ton kah, berapa banyak warga boleh lapar selama satu bulan?  Jika jawabannya tidak ada, ada berapa warga yang siap jadi donatur tetap, sudahkah itu didata oleh carik?

Sang kuwu terdiam, karena memang di desanya tidak pernah ada lumbung pangan, di rapat di kota dia diajari menghabiskan anggaran, bukan untuk menyimpannya jadi lumbung pangan, dia tidak diajari bagaimana mendata donatur, dan mengelolanya, karena pelajaran utamanya adalah melaporkan, bukan untuk mengasah kepekaan. Di negeri dongeng itu, para kuwu diajari tentang aturan yang boleh dan tidak boleh dikerjakan, bukan diajari bagaimana membangun mimpi desa ke depan, tidak diajari sebuah imajinasi, dan apalagi tidak diajari tentang bagaimana mengasah hati!

Pertanyaan kedua, belum disampaikan karena sang kuwu belum bisa memberi jawaban yang memuaskan. Ia hanya  menyajikan laporan laporan sesuai tugas pokoknya, ia terus menerus berkata tentang tugas pokok dan fungsi, tentang kesepakatan, tentang anggaran dan bukan tentang kemanusiaan.

Itulah sepenggal dongeng dari negeri dongeng. Untungnya sekedar dongeng

#klipaabercerita

bagi warga yang ingin juga mendongeng, silahkan mendongeng di klipaa.com, dartar di https://klipaa.com/register dan langsung posting, otomatis anda akan terhubung dengan warga lain anda, atau bisa klik story.  Kalau masih kurang faham manfaat mendongeng dapat juga klik link   https://klipaa.com/story/tag/panduanklipaa

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.