3 tahun yang lalu
Oleh: Subandoyo

SIMPANG LIMA DAN KENANGAN ANAK KOST MENUNGGU KIRIMAN BERAS VIA ELP


Simpang lima dimanapun adalah penanda kota.  Simpang lima Garut, Simpang lima Tasikmalaya, Simpang Lima Bandung, selalu berada di pusat kota. Petemuan antar banyak jalan ramai, sehingga simpang lima selalu menjadi simpul pergerakan warga.  

Seperti halnya simpang lima di Garut, berada dalam lokasi strategis yang menghubungkan jalan pembangunan ke arah pemkab, jalan patriot ke arah samarang, jalan terusan pembangunan ke arah terminal, jalan Otista ke Bandung dan jalan Cimanuk ke pusat keramaian.  Untuk mengalirkan kendaraan secara normal, maka dibuatkan bundaran, sehingga tidak perlu lampu lalulintas. Kendaraan dari berbagai arah dapat terus bergerak, nyaris tidak ada kemacetan. Simpang lima macet karena dua hal saja, pertama bubaran sekolah pesantren persis rancabogo dan yang kedua adalah ada demonstrasi.

Dulu, di tahun 90an dan 2000an, masa dimana handphone belum terlalu ramai seperti sekarang ini, simpang lima adalah tempat janjian, salah satunya janjian pengiriman dus oleh oleh dan beras dari Garut selatan seperti Pameungpeuk, Singajaya dan Bungbulang via mobil elp. Orang tua yang menitipkan bingkisan untuk bekal anak kuliah ditungguin di simpang lima.  Bingksisan itu tidak jauh dari beras, pisang, wajit, atau keripik pisang. Mungkin bagi sebagian anak kost pada masanya simpang lima adalah bagian dari kenangan.  Sebagian mahasiswa lain mengenang simpang sebagai tempat naik delman dari simpang lima ke STKIP  Garut (sekarang IPI)

Saat ini,  simpang lima menjadi salah satu tempat berkumpul pedagang kuliner. Pedagang lama seperti pak Ade mie rebus, dan mang Ujang nasigoreng sekarang sudah tidak kesepian lagi karena makin banyak warung  jajanan.  Saat ini di simpang lima semakin sore semakin ramai, dan bahkan sampai tengah malam. Mie rebus dan angkringan masih bertahan bahkan bisa sampai dini hari.  Simpang lima menjadi tempat nongkrong anak-anak muda di saat malam minggu. Di pojokan lainnya ada tempat hiburan. Berada diantara aura pesantren dan berseberangan dengan aura hiburan. 


Saya sendiri puluhan tahun melewati simpang lima nyaris setiap hari.  Seperti kemarin sore saya melewatinya. Hanya saja kemarin saya sengaja datang untuk memfotonya, bahkan mengajak anak saya Izzati Nurani mengambil gambar.  Saya meniatkan diri mencari sesuatu yang menarik, keren, dan penuh makna dari simpang lima kotaku garutku ini. Agak susah juga saya mencari perspektif yang penuh makna, dilihat dari berbagai arah belum penemukan identitas dan pesan kuat selayaknya penanda kota.   mencari spirit landmark di simpang lima memang susah selain ada tulisan “Garut” di sebelah timur, dan “Jalan Pembangunan” persis di mulut jalan pembangunan,  pada dua tulisan itu tidak ada sentuhan dan pesan sebuah budaya kota hanya terbaca tulisan latah saja.

Saya jadi terbayang kawan saya rekan Yogi yang selalu kritis dengan arsitektural, seandainya dia diberi peran untuk menggambarkan desain simpang lima, pasti akan sangat penuh nilai dan pesan-pesan. Karena katanya arsitektural bukan hanya menghadirkan struktur, tapi juga menghadirkan kebudayaan, dan nilai-nilai estetika.   Arsitektur yang ramah nilai dan bertegur sapa dengan alam dan kebudayaan lokal.

Ya memang simpang lima sudah saatnya ditata lebih arsitektural, sebagai penanda kota. juga inspirasi bagi warga kota untuk lebih aware pada ruang publiknya.  Simpang lima perlu digubah agar menjadi penguat pesan tentang kota yang indah.  Karena kota  adalah rumah bersama kita. Bukan sekedar tempat kita mencari makan dan kehidupan.  Tentu semua warga  ingin kotanya membanggakan indah menawan, bukan kota kota buruk rupa.  Kota yang indah bisa kita lihat dari bangunan, jalan, dan ruang publik  yang tertata rapih. Taman-taman nyaman untuk para pejalan kaki, papan reklame terkonnsep, dan setiap penjuru kota bersih.  Itulah tugas semua warga kota untuk menghadirkan identitas akar budaya warganya dalam ekspresi kotanya.


Simpang lima, adalah juga tanda kota, simpul kehidupan dan cermin tatakelola

Kota adalah wajah jujur peradaban kita, jika pada pojok kota kita lihat tumpukan sampah, bangunan-bangunan egois tidak saling berpadu dalam langgam arsitektur kota, sungainya tercemar, taman kotanya kotor, maka seperti itulah peradaban kita. Kota adalah ekspresi kebudayaan warga, walau mungkin sebagian kita membantahnya dengan mengatakan bahwa wajah kota adalah cermin para pemimpin kotanya.

Mungkin sedikit perlu direnungkan tentang menata kota yang bersih, sebagai juga representasi keagamaan kita. Jika kita lihat dalam perspektif agama bahwa  kebersihan merepresentasikan keimanan, maka kebersihan kota, juga bisa merepresentasikan keimanan kolektif warganya! Jadi kalau ingin melihat cerminan keimanan kita sebagai warga kolektif, kita bisa mengunjungi tumpukan sampah yang berada di dekat permukiman kita.

Oh ya, kembali ke simpang lima.  bagi yang punya kenangan di simpang menunggu beras, atau sekedar nongkrong lima ayo ceritakan pengalaman anda di klipaa.com, silahkan cara fitur daftar, dan kemudian isi data, selanjutnya ada bebas bercerita pengalaman.

#klipaabercerita

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.