3 tahun yang lalu
Oleh: Aa Subandoyo

DOA UNTUKMU KAWAN DI DESA MANDALAKASIH

Pagi tadi saya ditelpon seorang kawan.  Katanya “Pameungpeuk Banjir, Sungai Cipalebuh meluap”. Pikiran seketika membayangkan lokasi rumah kawan Asep Daryana, juga ada rekan lain Fauzan dan lainya, anak anak muda desa Mandalakasih Pameungpeuk yang tempat tinggalnya  persis dibantaran sungai Cipalebuh.  Duh, rumah cantik itu pasti tadi tergenang hebat, ,rumah yang seminggu lalu saya mampir, disambut hangat tuan rumah.  Di sana saya dan kawan lainnya  sempat  mendapati cerita banjir bandang dengan ketinggian air sampai dada. Saya kira banjir bandang itu adalah satu satunya cerita banjir, tidak ada cerita banjir besar di Sungai Cipalebuh.

Ada kesedihan dan pedih yang menusuk, membanyangkan sahabat baik saat ini sedang berjibaku melawan lumpur, air kotor dan menyelamatkan aset agar tidak rusak terendam. Sungguh tidak mudah, karena mungkin dia juga melawan rasa sedih dan marah.  Banjir tentu saja datang karena pepohonan ditebang tanpa perhitungan, dan sumber sumber resapan telah diabaikan.  Semoga kawan saya tidak marah sekalpun setiap banjir adalah tanda ada banyak kejahatan dan salah tata kelola kasat mata. Sedihnya,  ketika banjir datang maka air tidak memilih pendosa, atau pahlawan, rumah pemurah atau pemarah, orang baik atau orang jahat.  Tak peduli juga sedang shalat atau maksiat.  

Pada titik itu saya merasa pedih, seorang kawan yang sangat mencintai alam dan lingkungan harus merasakan banjir akibat lingkungan yang tak pernah dia khianati.  Air gemuruh memasuki rumahnya setinggi perut, merusak perabotan dan mengelupaskan cat rumah.  Banjir pun menyisakan lumpur dan trauma. 


Ketika alam  sudah terluka parah, air berkah pun tidak teserap, dan meleleh menjadi gemuruh. Ribuan kubik air menangis berlari  mengadu pada lautan, seolah tak kuasa ingin segera menghepaskan diri, pada samudera.  Air tak kuasa menahan diri untuk tetap berada di sungai, bebannya dihempaskan pada rumah rumah sekitar bantaran sungai, tak peduli rumah oang yang penuh cinta  atau yang paling setia menjaganya dari sampah.

Air seperti hidup bergerak buas, tapi saya gak pernah tahu sebenarnya dia gemuruh marah atau sedang meraung raung menangis. Marah karena tempat tinggalnya telah digeladah, atau menangis karena air sebenarnya identik dengan kelembutan dan kehidupan.


Adakah itu tanda air mata alam yang tak lagi bisa disimpan  lagi di kelopaknya. Saya saksikan dari jauh kelopak mata alam sudah kita rusak secara semena-mena.  Banjir ini, apakah ini  kabar tentang air mata  kehidupan yang menceritakan duka sambil membawa duka bagi siapapun yang dikabarinya?. Kabar air yang diusir dari tahah dan pepohonan kekasihnya yang dibiarkan hilang. 

Malam datang, kawan saya sempat berkirim photo depan rumahnya yang tergenang dan sebuah vespa kesayangannya yang menjadi saksi banjir datang untuk kesekian kali.

 Maafkan saya yang hanya bisa berdoa karena bahkan sudah semakin kehilangan kata-kata, doa doa kepada Alloh untuk menggerakan hati hati serakah agar kembali kepada cinta dan harmoni.  Karena air tak pernah dusta, jika dia datang membawa lumpur ke rumah kita, berarti sesungguhnya  serakah dan bodoh kita semua penyebabnya!

#mandalakasih

#banjirpameungpeuk

2 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.