3 tahun yang lalu
Oleh: Asda

Membaca Desa, Mengeja Ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A: Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa

Desa adalah tempat di mana sebagian besar kita berasal. Karenanya kita lebih fasih membaca desa tinimbang Indonesia. Faktanya, desa lebih dulu ada dibandingkan Indonesia. Bahkan hingga hari ini kita masih selalu saja terbata-bata membaca Indonesia. Artinya kita perlu mengeja ulang Indonesia. Reason d’etre agenda ini adalah desa maka yang harus dieja ulang adalah Indonesia yang sudah sengkarut.

Apakah Indo-nesia, Indon-esia, Ind-one-sia, In-do-nesia ataukah akan kita sebutkan dalam satu tarikan napas: Indonesia? Artinya, tanpa (huruf) D-E-S-A, kata Indonesia tak akan sempurna. 

Bagaimana cara kita mengeja ulang sangat tergantung dari kemampuan kita membaca desa sebagai ibu bumi. Desa menjadi sosok ibu yang nuturing, ngopeni, ngrumat, ngemonah, nggulowentah, murakabi semua anggota keluarga. 

Lihatlah di masa pandemik seperti ini. Orang-orang desa yang merantau ke kota mengalami kecemasan. Ia yang papa tak diterima di lingkungan kota dan terusir darinya. Kota menjadi tidak ramah. Lihatlah bagaimana orang mencuri-curi cara agar tetap pulang kampung ketika kota tak lagi menyediakan kerja dan orang-orang kelas menengahnya mengurung diri di rumah. Mereka pulang ke desa.  

Selayaknya ibu, desa adalah ibu bumi tempat kembalinya para petarung kehidupan yang harus rela meninggalkan desa untuk bekerja di ibu kota dan karena kondisi saat ini harus kembali pulang. Kembalilah ke pangkuan ibu bumi, selayaknya ibu. Desa akan menerima kehadiran kembali, apa pun adanya kita saat ini. Selayaknya ibu, desa adalah ibu bumi, tempat kembali dan berbagi.  

Tema ini ingin menguatkan Indonesia dari desa. Dan tampaknya ungkapan “masa depan Indonesia adalah desa” semakin relevan. Merdesa berasal dari kata desa dalam bahasa Jawa Kuno, artinya ‘tempat hidup yang layak, sejahtera, dan patut’. Dalam pengertian ini juga tersirat makna desa, suatu kawasan yang merdeka dan berdaulat. Dalam rumus otak-atik gathuk, ada persamaan antara paradise (surga) dengan paradesa, para (tertinggi), maka kedudukan desa diletakkan dalam maqam, derajat, dan martabat di puncak paling atas. Desa merupakan visi, cita-cita tertinggi, pencapaian pembangunan surga di dunia nyata, yakni ‘tempat hidup yang layak, sejahtera, dan patut’. Layak secara ekonomi, layak secara sosial budaya, layak secara politik. Itulah sejahtera. Sedangkan patut (kepatutan) memiliki dimensi yang holistik: adanya pola hidup yang bersahaja, rukun, penuh kesederhanaan, tak ada individualisme karena sistem kehidupan dilandasi oleh pertimbangan kebersamaan, komunalitas, berjemaah, tidak mudah mengumbar keserakahan dan eksploitasi, tak ada yang dominan pada kepentingan diri pribadi karena orang yang mementingkan diri pribadi justru diyakini sedang membangun neraka dan dianggap durhaka, dur-angkara. Semua ada takarannya. Gandhi pun pernah berkata: “Bumi ini cukup untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup untuk keserakahan satu manusia.”

Karenanya, upaya menuju kemandirian desa menjadi bagian penting dari Kongres Kebudayaan Desa. Terwujudnya kedaulatan politik dan pemerintahan desa, kedaulatan perekonomian desa, kedaulatan data desa, adalah syarat desa sebagai “paradise”. Tata kelola pemerintahan dan warga desa dalam tatanan baru Indonesia dengan sendirinya harus memastikan tata kelola pemerintahan dan kehidupan sosial warga yang bersih dan antikorupsi, sejahtera lahir dan batin, pendidikan yang merdeka, dan seterusnya.  

Penekanan ini selain mengkaji tata kelola pemerintahan dan aspek-aspek kehidupan warga desa juga mengarusutamakan isu-isu antikorupsi. Membangun pemerintahan yang bersih dan politik yang bermartabat sangat mungkin didorong dari ruang negara yang lebih kecil, yaitu desa. Dan desa jauh lebih memungkinkan untuk menerapkan praktik tata kelola dan implementasi negara yang bebas dari korupsi.  

Langkah yang lebih jauh, ini berupaya memberikan tawaran alternatif untuk membangun kembali tatanan yang lebih setara, lebih adil, bermartabat, dan antikorupsi, serta model kehidupan yang lebih harmonis antara manusia dan alam. Tawaran alternatif tentang “new normal” akan mengisi ruang-ruang kosong tentang reproduksi pengetahuan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang selama ini seolah direduksi hanya pada tataran tata cara teknis kehidupan (cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak). Tawaran ini juga menyediakan seperangkat panduan untuk penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa yang bisa diadopsi oleh sebanyak mungkin desa di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah desa-desa adat beserta masyarakat adat di seluruh nusantara.

#Membaca #Desa #Mengeja #Ulang #Indonesia #Mandalakasih #Garutselatan

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.