3 tahun yang lalu
Oleh: M Fauzan Irsyad

Resolusi Akademisi Proyeksi Abad 21



Proyeksi abad sekarang memang secara tidak langsung mengalami pendisrupsian yang begitu beragam dan dahsyat. Mulai dari kemajuan tekhnologi, intelektualitas, religiulitas, humanitas, dan lain-lain yang begitu sepadan. Baik yang nampak dipermukaan, ataupun orkestra dibalik layar.

Secara substansial, para akademisi dan skup pemuda diwajibkan untuk menjadi pelaku bagi perubahannya zaman. Baik secara inheren, ataupun koheren. Sehingga, aksionalitas dari berbagai pihak tersebut harus bisa meyakinkan ia akan membuat karya apa, bukan menjadi apa. Sebab jika yang dilakukannya hanya sekedar mau jadi apa, maka kekongkritan dari zaman akan menghasilkan Sumber Daya Manusia yang terkalahkan dan, hanya jadi penonton yang sifat pelakunya menjadi stres karena kurangnya kritis-informatis, kaloboratif-inovatif.

Contoh kecil. Jika dulu banyak orang yang Trafic Tranding bekerjanya menjadi Tukang Pos (pengantar surat) ke orang lain, maka proyeksi di abad sekarang dan yang akan datang mereka akan kehilangan aktifitas itu, sebab surat menyurat sekarang tidak dilakukan lagi secara virtual melalui face to face, melainkan secara email dan via tekhnologi yang lain.

Contoh kongkrit dari Trafic Trending disekarang yaitu kesehatan/pendidikan (namun disini bukan mau menyudutkan ataupun menyalahkan), karena tidak dapat dipungkiri, banyak orang dihari ini untuk berlomba-lomba masuk kesana, bahkan para orang tua mengarahkan anaknya untuk masuk kesana, hingga hasil lain diluar dugaan terjadi, kuantitas dari mereka benar-benar memudal terlalu banyak hinggal akhirnya banyak yang bingung setelah lulus.

Selanjutnya. Jargon Agent of Change, secara tidak langsung hanyalah sebuah kata-kata yang dilontarkan oleh para pelaku akademisi. Baik dalam kacamata penulis, Kenapa demikian ? Karena relevansi dari mereka hanya mengedepankan jargon tanpa adanya sebuah konsepsional dan tekhnikal baik dari A–Z, al hasil untuk menutupi jargon agent tersebut, mereka hanya mengedepankan irasionalitas dari perspektif monodisiplin yang abstrak, artinya, mereka hanya melihat dari satu ilmu yang belum selesai dan konsepsional—tekhnikalnya terlihat malah berceceran, sehingga aksional mereka hanya mengikuti gaya kacamatanya saja tanpa melihat sisi antara satu dengan lainnya.

Faktanya, mereka hanya bisa menyimpulkan tanpa melihat segi mana terlebih dahulu sebelum ia beragumen. Benar apa khalifah Umar bin Khatab pada masanya, beliau menyebutkan bahwa tahapan ilmu itu ada 3.

Pertama, jika orang itu telah mengetahui ilmunya, maka ia akan sombong. Begitupun dengan para akademik sekarang, baru saja ia membaca satu buku, bahkan tidak beres dalam membacanya, seolah ia paling tahu segalanya dan mendungukan oranglain. Karena menurutnya mereka harus seperti apa yang ia kemukakan.
Kedua, jika orang itu telah mengetahui ilmunya, maka ia akan rendah hati. Baik secara kuantitas jika individunya menjadi nahkoda disuatu instansi, organisasi dan lainnnya. Pun dengan kualitas dirinya.
Ketiga, jika orang itu telah mengetahui ilmunya, maka ia akan merasakan dirinya itu tidak ada apa-apanya.

Biasanya orang yang ada ditingkatan pertama itu datang dari orang yang ilmunya masih setengah-setengah, belum matang.

Imam Syaukani rahimahullah menukil perkataan seorang ulama di zamannya, "Ali bin Qaasim Hanasy" (wafat 1219 H). Katanya :
"Manusia itu terbagi menjadi tiga tingkatan:
(Pertama):
Tingkatan atas, yaitu tingkatan para ulama besar, mereka adalah orang-orang yang mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, meski mereka berbeda pendapat, tapi hal itu tidak menimbulkan fitnah (kegaduhan), karena mereka saling memahami antara satu dengan yang lainnya.
(Kedua):
Tingkatan bawah, yaitu tingkatan orang-orang awam, yang masih di atas fitrahnya, mereka tidak benci kebenaran, mereka adalah pengikut orang-orang yang menjadi panutannya. Apabila panutannya benar, maka mereka pun demikian. Apabila panutannya dalam kebatilan, maka mereka juga seperti itu.
(Ketiga):
Tingkatan tengah, inilah tempat munculnya keburukan dan sumber fitnah dalam agama maupun ilmu lainnya. Mereka ini tidak belajar ilmu dengan mendalam hingga sampai pada tingkatan pertama, mereka juga tidak meninggalkan ilmu hingga turun ke tingkatan bawah.

Di sisi lain, mereka juga merusak fitrah orang-orang yang berada ditingkatan bawah dari menerima kebenaran, dengan penjelasan-penjelasan batil yang menyesatkan. Sepertimana yang disebutkan Al imam Syaukani -rahimahullah :
"Sungguh benar apa yang dia katakan, dan siapapun yang merenungi hal ini, ia akan mendapatinya seperti itu".

[Sumber: Al-Badrut Thaali', hal 511].

_____


Cakupan salah satu dari proyeksi agar tidak terjadinya dungu, salah satunya baku hantam dengan zaman di era disrupsi sekarang, seperti mana contoh kecilnya yang disebutkan oleh M Amin Abdullah dalam bukunya "Fresh Ijtihat", yaitu dengan membaca, menulis, lalu beragumen.

Hal-hal lain dari baku hantamnya para akademisi di proyeksi sekarang adalah dengan pemikiran :

1. Kritis-Hermaunitis
(Dinamisasi/Modern—Berkemajuan)
 
2. Esensial-Perennial
(Purifikasi/Pemurnian)

3. Rekonstruksionisme
(Sosial > Organisasi > Abstraktif "ikhlas")

4. Progresif
(Future Orientid/Pandangan kedepan)

5. Wasathoniyah
(Tengah-tengahan/tidak terbawa arus baik kiri maupun kanan)

Sehingga, proses pergulumulan dengan persoalan-persoalan yang terjadi itu akan bisa terjawab dengan konkrit. Soalnya secara tidak terasa pula, mereka mengedepan skup sosial–budaya, yakni dengan pergulatan, persentuhan, dan pergerumulan secara turun aksi nyata dengan nuansa realitas, konteks, persoalan, dan soulving yang dilakukan secara mendalam dalam arti seluas-luasnya.

Dalam tahanan narapidana ilmunya juga. Mereka para akademisi jika telah melakukan itu, maka otomatis akan mengedepankan sesuai dengan reseach yang diberikan oleh Amerika Serikat dan perpaduan dengan paradigma M Amin Abdullah. Sebab persaingan mengenai General Art Education di World Class University sangatlah beragaman, salah satunya ialah dengan cara:

Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin.

Multidisiplin
Jika dulu refleksi para akademik itu hanya kuliah, belajar, riset dengan dilakukannya secara monodisiplin ilmu, maka untuk proyeksi abad 21 dituntut untuk mengakomodir pembelajaran, perkuliahan, riset, dan abdi masyarakat yang dilakukan dengn non monodisiplin ilmu.

Interdisiplin
Refleksi ini dituntut para akademik untuk menyelesaikan problemnya dengan cara memadukan antara satu dengan lain hal, yaitu: mencari dulu informasinya, tekhnik, alat-alat, perspektif, konsep, teori, lalu kemudian itu nantinya dilakukan secara fundamental ke cara soulving.

Transdisiplin
Perspektif ini mengacu dan menekan para akademik untuk bisa menguasai multidisiplin dan interdisiplin, yang mana jika itu bisa direfleksikan kepada referensi awal, maka hasil dari itu akan menuntun kepada: Bagaimana caranya menghasilkan, menyatukan antara ilmu satu dengan lainnya, kritis, berwawasan lias, dan kreatif—konferehensif.


Sehingga manusia yang paling manusia adalah manusia yang memanusiakan manusia, dan proses memanusiakan manusia terdapat dalam pendidikan yang konferehensif. Baik secara personal ataupun sosial. Baik secara formal ataupun luar. Baik secara mental ataupun spiritual. Baik secara ritual maupun kondisional. Baik secara vertikal maupun horizontal.

#Mandalakasih #Pendidikan #Pemuda #GarutSelatan #warga #masyarakat 

0 Komentar

Silahkan LOGIN untuk berkomentar.