Derita Petani
Negeri Indah loh jinawi bernama Indonesia ini masih perlu berjuang mensejahterakan masyarakatnya. Ya memang tanahnya subur, apapun tumbuh di negeri ini. Namun kenyataan lainya, di banyak tempat sudah terlampau padat penduduknya.
Akibatnya pertanian banyak yang dilakukan dalam skala kecil, dengan modal kecil berlahan kecil. Kondisi demikian terus menjadi dan cenderung tidak bertemu penyelesaian. Pertanian berjalan di tempat, sehingga setelah sekian lama merdeka pertanian masih belum memberikan kesejahteraan yang maksimal.
Pulau jawa misalnya, kepadatan penduduk sudah sangat tinggi. Saking terbatasnya lahan sebagian lahan tersisa di lereng gunung dengan kecuraman tinggi pun sudah dirambah. Disana sini ditemui praktek budidaya pertanian tidak ramah lingkungan, menyebabkan longsor, hilangnya lapisan top soil, dan bukaan lahan yang berkontribusi nyata pada banjir..
Peternakan kecil juga tidak beranjak membaik dari waktu ke waktu. Eksistensi peternakan semakin lama semakin tergerus oleh perkembangan jaman. Alih fungsi lahan pertanian yang makin intensif, membuat eksistensi peternakan semakin lama juga semakin terpinggirkan. Mereka tidak mampu beranjak dari kepemilikan skala kecil yang “memerah tenaga mereka” setiap hari.
Mereka ada, karena terpaksa oleh keadaan.
Satu-satunya yang tumbuh adalah peternakan unggas, tapi yang tumbuh sejatinya bukan pengusaha lokal. Mereka hanya menjadi alat produksi dari berbagai perusahaan internasional yang menguasai bsnis pembibitan, pakan, pasar produk peternakan di Indonesia.
Peternakan Skala Kecil dan Kemiskinan
Dulu ada banyak ahli peternakan yang berpendapat bahwa peternakan sekala kecil itu salah satu indikator kemiskinan di perdesaaan. Orang beternak dua ekor domba sungguh tidak ekonomis tapi dilakukan karena sangat kekurangan. Demikian juga dengan mereka yang memelihara 3 ekor kambing selalu identik dengan ketidakberdayaan. Mereka beternak sebagai salah satu cara bertahan hidup, ketika tidak ada tabungan, tidak ada aset likuid, maka ternak adalah tabungan paling logis. Ternak adalah “banda tatalang raga” yang menjadi tabungan “penyambung nyawa”. Bertahan dalam kondisi “ mati segan hidup tak mau”.
Bagi mereka yang kuliah di fakultas pertanian atau peternakan. Pelajaran sosial ekonomi pertanian pada bab pertama selalu menggambarkan bahwa kehidupan petani kecil diibaratkan seperti orang yang hampir tenggelam, air sudah sampai di dagunya, ada sedikit saja riak dalam kehidupan, maka riak itu diibaratkan air yang segera sampai di hidungnya. Mereka sungguh rentan, bahkan sekedar bertahan hidup.
Para peternak itu banyak yang miskin secara struktural, hidup dalam desakan lahan yang makin sempit, modal yang tidak ada, juga nilai tukar komoditas pertanian (termasuk peternakan) yang terus tertekan.
Konsep peternakan tanpa lahan yang memadai itu, tidak ditemui di negara pertanian lain seperti di Australia, dimana negara memfasilitasi warganya untuk memiliki lahan luas dan juga ternak yang banyak. Jika di Cikajang Kabupaten Garut skala usaha peternakan sapi perah rata-rata 2 ekor saja di Australia satu keluarga sejak lama bisa memiliki usaha peternakan dengan 300 ekor sapi perah. Teknologi, lahan, dan kebijakan negara memungkinkan para peternak memiliki skala usaha yang besar, pada akhirnya adaftif pada teknologi, sehingga ternak memberikan harapan, harapan hidup lebih sejahtera.
Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah dalam hal ini sudah lama “gagal peran” dalam memajukan peternakan rakyat. Ada banyak hal yang menyebabkan peran pemerintah daerah sangat minimal dalam pengembangan peternakan, antara lain adalah sebagai berikut:
Diperlukan strategi yang efektif,
relevan dengan persoalan-persoalan kekinian dalam pengembangan peternakan
menjadi lebih baik. Mungkin ada cara
baru pengembangan bisnis kolaboratif bidang peternakan yang sifatnya antar
pulaua, antar pelaku, antar kepentingan bahkan antar pemda. Peternakan sudah
tidak bisa dikelola dengan cara cara biasa, karena sudah terbukti gagal
berpuluh-puluh tahun lamanya.
Silahkan LOGIN untuk berkomentar.